Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rakyat Kecil dan Obesitas Politik

14 Januari 2019   11:16 Diperbarui: 14 Januari 2019   11:36 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik terlampau obesitas, membuat sistem-sistem yang ada lebih membela kaum elitis dan memanjakan para pemodal beromzet besar. Tukang cukur tetaplah menjadi tukang cukur tak pernah beralih sukses menjadi salon yang lebih bonafide dan elitis. 

Tukang sapu seumur-umur tetap menjadi tukang sapu, tak pernah naik jabatan menjadi guru atau sekadar "manager" bagi tukang sapu lainnya. Jikapun muncul protes dari kalangan rakyat kecil soal sistem yang kurang memihak, lalu kemudian direkrutlah orang-orang yang vokal atau pemimpin-pemimpin demonstrasi yang dimediasi lalu melakukan "bargaining" soal privilege yang semestinya mereka terima.

Ditengah obesitas politik, lalu bermunculan para elit yang menjadi corong kekuasaan atau kelompok kepentingan sekadar mengumbar retorika kepedulian mereka kepada rakyat kecil. Mereka lalu ditampilkan kedepan layar kaca, dipoles semikian rupa seolah menjadi perwakilan dari sekian juta orang-orang "pinggiran" yang terselamatkan oleh sisitem. 

Rakyat kecil yang "dipermak" ini lalu bergembira dengan janji nyata para politisi yang mendramatisasi kehidupan mereka. Padahal, kenyataan obesitas politik hanya menjadi bancakan para elit yang kenyang akan manipulasi mereka yang dalam realitasnya tetap tak berubah, selamanya rakyat kecil yang tak berubah menjadi "rakyat besar" yang ikut merasakan kenikmatan perubahan.

Bagi saya, rakyat kecil bukan hanya mereka yang teralienasi dari berbagai kondisi sosial-politik dan tinggal di wilayah-wilayah rural perkampungan, namun rakyat kecil adalah mereka yang hidup ditengah hiruk-pikuk kepolitikan di perkotaan, namun tetap hidup miskin dan bertahan hidup ala kadarnya. 

Pak Teguh dan Ibu Muznah barangkali dua contoh kehidupan miskin ditengah perkotaan yang senantiasa dipenuhi retorika soal kemakmuran dan kesejahteraan rakyat namun hanya berlaku dalam konteks politik yang cenderung obesitas. 

Seolah muncul suatu adagium, "Anda tak akan berubah jika tak ikut 'berpolitik', karena peningkatan taraf hidup merupakan hasil jerih payah berpolitik bukan atas kejujuran, kesabaran, atau menerima apa adanya anugerah Tuhan".

Obesitas politik seolah tak terbendung, karena hampir semua perubahan harus dilalui melalui apa itu berpolitik. Seorang pegawai kecil harus "berpolitik" jika ingin naik jabatan dalam struktur pemerintahan, seorang pedagang kecil-kecilan harus cakap juga melakukan "politisasi" agar dagangannya laku dan memperbesar jumlah pelanggan dari waktu ke waktu. 

Tak mungkin rasanya sosok seperti Teguh dan Muznah kemudian berpolitik, lalu kenyataan hidupnya meningkat lebih baik dari sebelumnya dan menikmati obesitas politik seperti yang mereka bayangkan dirasakan dalam setiap inci kehidupan para elit. 

Bagi Teguh, berjualan lontong dan combro merupakan bagian dari ibadah dirinya, sekalipun tampak diluaran seperti rakyat kecil, tetapi dalam hatinya ia bergembira karena semata-mata itulah sesungguhnya nilai hidup sebagaimana yang dipahaminya.

Politik seringkali memarginalisasi kenyataan rakyat kecil, bahkan kerap dimanfaatkan menjadi alat yang dipolitisasi sebagai corong yang mengangkat kehidupan mereka. Padahal, ditengah kehidupan bebas bahkan obesitas kepolitikan---sebagaimana ditunjukkan oleh jumlah parpol yang sedemikian banyak---tampaknya tak berpengaruh dalam sedikitpun kehidupan rakyat kecil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun