Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Antara Hoaks, Bahasa Politik, dan Kekuasaan

11 Januari 2019   10:11 Diperbarui: 11 Januari 2019   17:51 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, tak mudah menerima perbedaan pendapat dalam konteks luas kebahasaan, mengingat adanya unsur-unsur lain yang secara psikologis mengikat dalam diri setiap orang, entah itu keyakinan pribadi, fanatisme, atau kenyataan sosial-politik yang memang terlampau banyak mempengaruhi sejauh mana ekspresi kebebasan berpendapat itu "diterima dan dibenarkan" secara umum.

Yang paling mengkhawatirkan, hoaks seringkali dibenturkan oleh suatu kenyataan politik dimana pihak yang memproduksi hoaks cenderung distigmatisasikan kepada pihak-pihak oposisi yang memang cenderung kritis terhadap kekuasaan. Padahal, tak semuanya suara kritis itu dianggap hoaks, karena setiap kritik tentu saja menjadi bagian dari kebebasan berpendapat masyarakat. 

Tekanan yang terlampau besar dari kekuasaan, pasti juga menciptakan perlawanan dari pihak-pihak tertentu, maka bahasa ekspresif yang bernada provokatif, sebagai sarana kritik yang menyudutkan penguasa, tentu sangat mengganggu dan sudah sepatutnya dibatasi atau bahkan diberangus!

Banyak sekali kiranya, ungkapan-ungkapan ekspresi batin seseorang yang mewujud dalam bahasa namun tereduksi oleh suasana kepolitikan. Segala hal yang dianggap berbeda pendapat atau informasi yang dibahasakan secara kritis, seringkali langsung dicap sebagai "hoaks", terlebih informasi itu dengan cepat dimentahkan secara "faktual". 

Penguasa secara mantap melakukan hegemoni atas "bahasa" dan setiap bahasa yang diungkap seolah semuanya adalah "kebenaran" dan disisi lain, pihak-pihak yang kontra penguasa terus dimarginalisasikan melalui penciptaan hoaks sedemikian rupa, sampai-sampai terbangun sebuah opini dimana setiap bahasa yang diungkap secara kritis lantas saja dicap sebagai "hoaks".

Kita memang dihadapkan pada suatu kondisi dimana ekspresi berbahasa yang sudah sedemikian parah tercemari, bahkan polusi bahasa saat ini nampak lebih berbahaya dari polusi udara sekalipun. Dalam berbahasa---terutama dalam iklim kontestasi politik, hampir setiap orang kehilangan ide atau gagasan, keindahan ritme, bahkan cenderung berkonotasi pesimistik dan negatif. 

Wajar, jika kemudian bahasa "hoaks" kian marak seolah menjadi kanal baru dalam wujud paling nyata mencemari bahasa kepolitikan kita. Tak hanya dalam bahasa politik, bahasa agama-pun pada akhirnya tercemar diksi hoaks, lalu berkembang ditengah masyarakat menjadi sebuah rujukan bagi suatu kebenaran. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa perkembangan hoaks pada akhirnya terpapar ekses kekuasaan yang mungkin saja terlampau hegemonik dan diskriminatif.

Kita tentu berharap, hoaks bukan sekadar amunisi politik yang hanya dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan, namun perlu adanya kesadaran bersama yang terbangun diantara masyarakat bahwa hoaks akan sangat merugikan dan menciptakan kanal-kanal baru "ideologis" yang pada akhirnya saling kontradiktif dan berlawanan. 

Bahasa politik yang belakangan ini semakin tereduksi oleh kenyataan hoaks, jangan juga malah menjadi "alat penekan" bagi penguasa dalam memberangus saluran-saluran ekspresi kebahasaan masyarakat. Hoaks mungkin saja tak semarak ketika kekuasaan juga tak berlaku diskriminatif terhadap kebebasan berpendapat masyarakat. 

Karena, mungkin saja maraknya soal hoaks juga ekses dari kekuasaan yang belakangan tampak "ekstra hegemonik" dalam penguasaan dan kanalisasi atas bahasa-bahasa politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun