Kasus yang menimpa Muhammad Khaidir hingga tewas dikeroyok di dalam masjid di Gowa Sulawesi Selatan, bukanlah kali pertama karena beberapa peristiwa kekerasan serupa juga pernah terjadi.Â
Umar Basri, misalnya, seorang kiai asal Cicalengka, Jawa Barat pernah dianiaya seseorang di dalam masjid seusai salat subuh. Mungkin yang paling mengerikan adalah kasus raibnya ampli masjid di wilayah Bekasi yang pelakunya tewas mengenaskan karena disiksa dan dibakar massa.Â
Yang paling mengherankan, kasus seorang perempuan yang salat di masjid beberapa hari lalu di Samarinda, yang dipukul seseorang menggunakan balok kayu karena alasan desakan ekonomi, sungguh tak masuk akal. Masjid yang semestinya menjadi tempat paling aman karena memang tempat suci, belakangan seolah "terkotori" karena teror justru muncul dari tempat ibadah ini.
Masjid tentu saja identik dengan tempat suci yang jauh dari nuansa kekerasan, apapun alasannya. Setiap orang yang berada didalamnya, tentu saja lebih terjamin keamanannya bahkan jauh dari hiruk pikuk duniawi apalagi terpapar ketakutan. Sangat disayangkan rasanya, jika kemudian masjid terindikasi aksi kekerasan.Â
Sedemikian jauhkah masyarakat kita dari agama? Ataukah  memang telah terjadi "politisasi" masjid yang sengaja dibuat pihak-pihak tertentu untuk membangun citra negatif terhadapnya? Berspekulasi dalam hal ini tentu saja rentan menimbulkan masalah, namun paling tidak beberapa kasus kekerasan yang terjadi, seharusnya menjadi warning, agar fungsi masjid dikembalikan seperti semula, sebagai ruang ibadah yang mempererat ikatan-ikatan solidaritas sosial yang jauh dari nuansa permusuhan apalagi kekerasan, sekaligus menjadi lumbung perekonomian umat, yang mengemban misi utama dalam hal kesejahteraan masyarakat. Â
Terkadang sering muncul pertanyaan, sedemikian berubahkah kondisi masyarakat kita? Rasanya terlalu sulit dijelaskan melalui analisa psikologis, kenapa kekerasan harus terjadi dari dalam atau  lingkungan masjid, padahal masjid jelas berkonotasi ketenangan dan kedamaian. Jika aksi kekerasan terjadi diluar lingkup rumah ibadah, barangkali itu masih dapat dianalisa melalui kerangka disiplin psikologi, kriminologi, atau sosiologi.Â
Nampaknya ada semacam kesadaran moral yang hilang atau terkikis dalam setiap pribadi masyarakat kita yang mungkin terlampau rumit untuk dianalisa  penyebabnya. Mungkin saja ada semacam rasa keadilan yang sulit didapatkan belakangan, karena imbas situasi sosial-politik yang mempertontonkan kemunafikan. Tapi, silahkan anda menganalisanya sendiri karena saya sendiri tak mau berspekulasi.
Saya jadi teringat, dimana realitas sejarah menunjukkan dimana keberadaan sebuah masjid bagi umat Islam dapat menjadi batu pijakan peradaban sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad ketika beliau hijrah dari Mekah ke Madinah.Â
Pendirian Masjid Quba yang digagas saat pertama kali dirinya menginjakkan kaki di Madinah, jelas dibangun berdasarkan asas ketakwaan karena siapapun yang masuk kedalamnya, berarti ia berhak membersihkan diri bukan malah mengotori. "Sesungguhnya Masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih." (QS At-Taubah: 108).
Mungkin terasa kontras dengan kondisi saat ini, dimana masjid tiba-tiba terkesan "dikuasai" sekelompok tertentu yang justru tak mau berkompromi dengan pihak-pihak lainnya.Â
Saya sendiri pernah menyaksikan, perpindahan jamaah masjid ke masjid lainnya hanya karena alasan  ketidaksepahaman dengan lingkungan atau orang-orang yang berada di dalamnya. Bahkan, sulit untuk tidak mengatakan, terdapat juga masjid yang dikenal dengan penyebaran paham "keras" yang senantiasa membenturkan secara "ideologis" dengan menyebut pihak-pihak lain yang tidak sepaham sebagai pengikut ajaran Islam yang keliru. Wajar jika kemudian negara menyebut ada beberapa masjid yang terindikasi radikalisme, karena memang demikianlah faktanya.
Padahal, Islam sendiri senantiasa memberikan suasana kelembutan kepada siapapun, tanpa harus menilai bahwa masyarakat muslim itu lemah, sekaligus Islam itu membawa nuansa yang relatif tegas, yang tentu saja tidak berarti "keras".Â
Hal ini sangat jelas ketika para pembaca al-Quran membuka lembaran paling tengah dalam kitab itu dan tertulis "wal yatalatthof" (berlakulah lemah lembut). Kalimat ini tepat berada ditengah-tengah ketika kita membukanya, terselip diantara ribuan bait ayat-ayat-Nya dengan "ditandai" warna tertentu.Â
Sikap lemah lembut tentu saja senantiasa merujuk pada prilaku yang selalu ditonjolkan pribadi Nabi Muhammad, sehingga ajaran kasih sayang yang dibawanya melampaui batas kaumnya sendiri, tetapi diproyeksikan untuk kebaikan seluruh alam semesta tanpa kecuali (wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil'alamiin).Â
Jika saat ini masjid seolah dipersepsikan menjadi tempat yang kurang aman, saya justru khawatir akan semakin bertambah banyak saja orang yang enggan pergi ke masjid. Padahal fungsi masjid sebagai ajang penguatan soliditas keumatan sekaligus penopang sisi keekonomian umat yang belum sepenuhnya dikembalikan fungsinya, semakin jauh saja akibat mencuatnya beragam aksi kekerasan yang justru muncul dari lingkungan sekitarnya.Â
Terlepas dari soal kesalahpahaman yang terjadi atau alasan-alasan apapun, yang pasti sedemikian mudahnya masyarakat kita tersulut melakukan tindakan kekerasan dan yang sangat disesalkan kekerasan itu justru terjadi di dalam masjid. Masjid seolah terus terseret dalam pusaran kekerasan, karena nilai-nilai kelembutan yang terpancar dari dalam lingkungan sekitarnya, kini semakin habis terkikis bahkan lenyap menguap.
Cap terhadap adanya masjid "radikal" saja telah menuai kontroversial, sekalipun kenyataannya ada aksi-aksi kekerasan yang berasal dari dalam masjid itu sendiri. Padahal, merujuk pada catatan sejarah, pernah ketika Nabi Muhammad melihat ada seorang Badui yang mengencingi masjid, tak kemudian memicu aksi kekerasan.Â
Nabi tentu saja memaafkan, terlebih karena memang terdapat unsur ketidaktahuan atau ketidaksengajaan dari yang pihak yang melakukan. "Fa innama bu'itstum muyassiriin wa lam tub'atsu mu'assirin" (sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan), demikian pesan singkat Nabi dimana semestinya prinsip lemah lembut itu tetap terjaga hingga saat ini.
Mungkin ada benarnya, ketika berbagai kasus yang semakin menyeret masjid kedalam pusaran kekerasan, merupakan akibat langsung dari terlampau banyaknya orasi-orasi "keras" para pemuka agama di dalamnya. Sedikit saja diantara mereka yang mengajak untuk bersikap lemah lembut, saling menghargai, menghormati, dan menjaga kesucian---bukan merasa suci---antar sesamanya.Â
Masjid tetaplah tempat suci yang jelas dapat membentuk kepribadian setiap orang menjadi lebih baik, ketika bersosialisasi dalam lingkungannya. Bahkan jika boleh dikatakan, masjid tentu saja dapat berfungsi sebagai "kawah candradimuka" bagi lahirnya peradaban, karena terbukti sepanjang sejarah Islam, para ulama yang berkontribusi dalam memajukan peradaban Islam adalah mereka yang besar dan dididik dalam lingkungan masjid, bukan diluarnya.
Masjid adalah "tempat sujud" dimana setiap orang memasrahkan diri serendah-rendahnya dihadapan Tuhan, tanpa kecuali. Sujud menandakan, semua manusia setara dihadapan Tuhan. Sikap membungkuk dan sujud dalam salat sekaligus merupakan wujud perlawanan atas sikap arogansi dirinya sendiri.Â
Arogansi dan kesewenang-wenangan tentu saja linier dengan tindakan kekerasan. Maka "masjid" yang terambil dari akar kata "sajada" atau "sujud" adalah konotasi paling nyata dari watak egalitarianisme muslim yang cenderung toleran bahkan anti-kekerasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H