Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pidato Prabowo, Tema Fantasi, dan Gestur Dua Jari

18 Desember 2018   11:41 Diperbarui: 18 Desember 2018   11:44 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam suatu kontestasi politik, setiap kandidat memang kerapkali memiliki strateginya sendiri yang membedakan dengan strategi yang dilakukan lawan politiknya. Menarik ketika melihat bagaimana capres nomor urut 02, Prabowo Subianto selalu menghadirkan nuansa tema fantasi dalam setiap pidato politiknya. 

Mungkin masih lekat dalam ingatan kita, ketika Prabowo menyebut Indonesia akan bubar pada 2030 mengacu pada sebuah karya fiksi ilmiah, Ghost Fleet. Lalu, beberapa waktu lalu, soal pidatonya yang menyebut "tampang boyolali" juga tampak menghadirkan nuansa fantasi seakan betapa miskinnya rakyat di negeri ini. 

Pidato politiknya kemarin di Sentul, menyebut bahwa Indonesia akan punah jika dirinya kalah, lebih menegaskan lagi bahwa strategi "tema fantasi" memang selalu dipakai sebagai strategi politik dalam merebut simpati masyarakat.

Suatu tema fantasi dalam membangun komunikasi politik, memang dapat menjadi strategi paling jitu, dimana suasana politik terbangun sedemikian rupa melalui pengungkapan emosional dengan menghadirkan peristiwa-peristiwa masa lalu yang tampak dramatis bahkan melankolis, kemudian dihubungkan dengan peristiwa yang akan terjadi di masa depan. 

"Kalau kita kalah, negara ini bisa punah", demikian cuplikan pidato Prabowo yang mengulas peristiwa masa lalu secara fantastis lalu menggambarkan nuansa masa depan yang sungguh dramatis. Bentuk lain dari tema fantasi yang dipergunakan juga seringkali bermakna simbolik, seperti misalnya drama playing victim yang dimainkan untuk menghadirkan secara lebih kuat suasana emosional masyarakat.

Saya kira, sah-sah saja memainkan strategi apapun dalam rangka ajang kontestasi, hanya saja bahwa drama-drama politik yang menghadirkan tema fantasi, seringkali tidak rasional, bahkan lebih cenderung diramaikan oleh fakta-fakta retoris yang sekadar bermakna simbolik. Itu artinya, bahwa masyarakatpun terobsesi untuk lebih jauh menafsirkan makna-makna, lambang, tanda, kejadian yang tengah dialami, selaras dengan daya imajinernya yang sepi dari fakta-fakta politik yang sebenarnya. 

Saya kira, jika benar bahwa soal cerita pengusiran cawapres Sandiaga Uno saat blusukan di pasar itu sebatas playing victim, maka ada benarnya jika retorika politik kandidat nomor urut 02 ini lebih didasarkan pada strategi tema fantasi dalam memenangkan ajang kontestasi.

Berbagai makna simbolik hasil gubahan dari bentuk tema fantasi yang dikomunikasikan seorang kandidat, pada akhirnya menjadi wacana retoris ditengah masyarakat. Mereka yang merasa memiliki ikatan emosional dengan peristiwa-peristiwa masa lalu yang kemudian dihadirkan melalui peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, strategi membangun tema fantasi ini seakan menemukan ruangnya. 

Tidak hanya itu, semangat keagamaan masyarakat tentu saja dapat menjadi iklim paling baik dalam persemaian strategi tema fantasi ini. Agama, tentu saja seringkali di ekspresikan masyarakat akan peristiwa-peristiwa masa lalu yang harus dihadirkan lagi di masa kini dan bila perlu merebut wacana lain yang telah menjadi tema besar publik saat ini.  

Sulit untuk tidak dikatakan, bahwa tema fantasi yang sejauh ini diusung sebagai strategi politik kandidat nomor urut 02, memang sanggup menumbuhkan semangat keagamaan bahkan direspon secara positif oleh mereka. Gerakan 212 yang berkamuflase dari suatu semangat keagamaan kedalam aksi politik, jelas sukses menarasikan tema fantasi: mendramatisir peristiwa-peristiwa masa lalu, mengkaitkan dengan peristiwa saat ini, dan membangun ilusi-ilusi kepolitikan masa depan. Keinginan kelompok ini untuk manggung di istana negara jika Prabowo terpilih kelak merupakan  wujud paling nyata dari tema fantasi yang selama ini menjadi acuan strategi politik mereka.

Mungkin tak berlebihan, ketika Gubernur Anies Baswedan yang hadir dalam acara Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul, seraya mengacungkan dua jari, jelas mengandung makna simbolik berupa "dukungan" walaupun pada akhirnya entitas simbolik tentu saja multi-tafsir. 

Para pengagum teori konvergensi simbolik, tentu saja dapat menjelaskan bagaimana suatu konvergensi dapat mempertemukan dalam dunia simbolik pribadi dari dua atau lebih individu, lalu saling mendekat dan memunculkan wujud simbolik berupa tanda melalui gestur dua jari yang diacungkan Anies. Dunia politik memang seringkali dimaknai secara simbolik, terlebih masa-masa kampanye yang tampak rigid oleh beragam aturan yang hanya "boleh" dilanggar oleh perwujudan simbolisasi politik.

Mungkin saja Anies memang telah disetting sedemikian rupa sebagai bagian dari dramatis personae (tokoh yang terlibat) dalam suatu drama politik berasaskan tema fantasi yang memang selalu dihadirkan oleh Prabowo. Paling tidak, keterlibatan Anies dengan memanfaatkan momen simbolik gestur dua jari akan menambah suasana emosi kepolitikan ditengah gempita massa konferensi Gerindra semakin menguat. 

Konvergensi sebagai bentuk "pertukaran pesan" antara Prabowo dan Anies jelas-jelas menemukan momentumnya disini dan pada akhirnya menumbuhkan kesadaran kelompok pendukung capres nomor urut 02 yang tak perlu diragukan, dimana sang gubernur ternyata berada dalam barisan yang sama dengan mereka.

Soal dukungan simbolik Anies, tentu saja itu menjadi perkara bagi mereka yang memang berseberangan secara politik dan menjadi area "kepolitikan" yang semestinya terjamah oleh para pengawas kampanye politik. Jadi, tak perlu saling melapor-lah, karena hal itu hanya buang-buang waktu bahkan semakin menunjukkan betapa baperan-nya dunia politik kita. 

Anggaplah gestur dua jari Anies ini sebagai jawaban atas gestur satu jari Sri Mulyani dan Luhut Pandjaitan yang lolos dari berbagai anggapan pelanggaran kode etik suatu ajang kontestasi politik. Apa sih masalahnya satu jari atau dua jari? Terus ngefek gitu memberikan amunisi politik kepada publik? Terkadang dunia politik kita cenderung baperan, sehingga yang ditonjolkan kebanyakan simbolisasinya bukan realitasnya, bahkan sepertinya malah imaginatif seraya menjauhi cara-cara berpolitik yang konstruktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun