Ajang perebutan kekuasaan kali ini tak lebih sekadar "carmuk" yang dilakukan oleh banyak kekuatan politik masing-masing pendukungnya. Anehnya, kontestasi politik yang tidak rasional dan substansial ini justru malah "dirasionalisasi" bahkan dijadikan rujukan-rujukan bagi pilihan politik masyarakat.Â
Betapa masyarakat sangat meyakini, misalnya, capres nomor urut 01 itu adalah figur yang mengkriminalisasi ulama, sekalipun cawapresnya adalah seorang ulama. Lalu, kandidat capres nomor urut 02 disebut hanya mualaf dimana soal tata cara berwudu dan salat saja belum tepat, tetapi dianggap pemimpin pilihan ulama dan tak tanggung-tanggung cawapresnya bahkan digelari sebagai ulama. Lalu, dimana subtansi politiknya?
Sungguh sangat mengharukan jika semangat pergantian kekuasaan ini sebatas ajang "carmuk" para simpatisan yang ingin mendapatkan pembagian kue kekuasaan. La Nyalla effect hanyalah contoh kecil betapa semakin tidak rasionalnya politik, bahkan benar-benar telah meminggirkan seluruh artifisialnya seraya menanggalkan nilai-nilai substansialnya.Â
Sederet ungkapan, seperti janji potong leher, pertobatan, tantangan salat, dan semacamnya telah "memperkosa" politik secara artifisial, menjauhkan dari ruang-ruang publik dan membuka ruang-ruang privat untuk dikritisi dan diperbincangkan. Anehnya, isu-isu "privat" yang telah usang justru diangkat kembali, bahkan soal perda syariah dan poligami diungkit menjadi ajang politik ofensif dan "carmuk" para politisi.
Ada benarnya saya kira ketika Rico Marbun menilai bahwa ada semacam ketidakmampuan dari kubu petahana dalam penguasaan medan politik kampanye saat ini. Penggunaan politik ofensif secara nyata, lalu "memaksa" para politisi yang "pindah jurusan" untuk mengobarkan semangat politik, bahkan para politisi "carmuk" tampak semakin banyak menghiasi kolom-kolom media massa sepertinya memang tak hanya kehilangan kemampuan, tetapi memang benar-benar kesulitan bahkan jurus "kepepet" seolah terpaksa dimanfaatkan.Â
Padahal, berpolitik defensif saya kira lebih menghadirkan wajah kepiawaian berpolitik, bahkan mungkin mampu menciptakan "style" politik yang adiluhung, qualified, bahkan bermartabat.
Namun saya kira, jika kubu petahana masih terus memainkan model politik "ofensif" dan membiarkan bola liar panas menggulir bersama La Nyalla effect, lalu tak jeli dengan semakin banyaknya para politisi "carmuk" yang sekadar ingin jatah kekuasaan, barangkali sulit untuk memenangkan ajang kontestasi. Sekali-kali buatlah kejutan suatu kebijakan yang bernilai populis, jangan sekadar yang berbau politis, dimana kebijakan tersebut diterima semua pihak dan mampu "mendamaikan" banyak pihak.Â
Disisi lain, kubu oposisi memang tampak "defensif" walaupun seringkali tampak nyinyir dan berpolitik pandir. Bolehlah "carmuk" asal terukur dan rasional, boleh juga nyinyir asal satir dalam berpikir karena disitulah politik itu hadir sebagai ajang kontestasi bergilir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H