Istilah-istilah yang semakin menggelitik belakangan ini semakin memperkaya wacana diskusi politik. Masing-masing kubu sepertinya memiliki beragam adagium yang seolah dipersiapkan sebagai amunisi politik  jelang kontestasi. "Kenapa, ada yang panik, ya?"
Kalimat itu terlontar ketika muncul berbagai isu yang mendiskreditkan rezim di mana seolah-olah apa yang dituduhkan kepada mereka tidak benar dan rezim berupaya membalik kondisi politik yang sebenarnya.Â
"Tak perlu panik, itu hanya sekadar political gimmick", mungkin kalimat ini dapat mewakili betapa situasi politik jelang kontestasi ini sebatas memainkan isu bukan realitas kontestasi politik yang sesungguhnya dan terkadang isu-isu yang diangkatpun bahkan tampak terlampau usang.
Politik di negeri ini memang cukup menyedot perhatian masyarakat, bahkan siapa saja dapat ikut berpartisipasi secara aktif "berpolitik" sebagai bentuk dukungan atau simpatisan atas kenyataan dua kubu kontestan politik yang saat ini sedang bertarung.Â
Satu sisi ini adalah kenyataan demokrasi yang telah membuka 'keran' kebebasan berekspresi setiap orang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, namun disisi lain, diksi-diksi kepolitikan telah banyak menjadi polusi dan mencemari berbagai hal, termasuk sosial, politik, bahasa, bahkan agama. Istilah "pos pertempuran" misalnya, jelas berkonotasi "perlawanan" yang mungkin saja berdimensi fisik, sehingga wajar jika hal ini ditanggapi secara "panik" oleh kubu lawan politik.
Apakah, diksi "panik" hanya berlaku bagi "kubu sebelah" yang memang menjadi rival kubu pro-penguasa? Lalu, istilah "political gimmick" menjadi diksi "penghibur" yang memang dipergunakan kelompok pendukung rezim yang disebut sedang panik oleh lawan politik?
Saya kira, soal jawaban ini akan lebih mudah diungkap sesuai tensi politik masing-masing kubu yang saat ini memang telah mempersiapkan ajang pertempuran politik yang kadang tampak panik atau hanya sebatas "gimmick-gimmick".Â
Lihat saja, isu-isu yang sengaja dibuat untuk menghambat atau memperburuk citra kandidat terus diangkat dan sukses menjadi konsumsi politik yang bahkan merakyat.
Bisa saja memang ada kubu yang mengalami kepanikan disaat banyak perihal negatif yang dibongkar dan dijadikan isu kepolitikan yang benar-benar menggelikan. Kepanikan dalam politik memang hal yang wajar, karena politik tentu saja ajang kontestasi soal kalah-menang dalam memperebutkan kekuasaan.Â
Namun masalahnya, tak semua orang cerdas dalam menyikapi isu politik dan ini berdampak kurang baik bagi cara pandang masyarakat terhadap dunia politik itu sendiri.
Politik tentu saja seharusnya dipahami sebagai kegiatan yang dapat "mendamaikan" dua kepentingan yang berbeda sehingga masing-masing berkompetisi secara sehat untuk mendapatkan porsi-porsi kuasanya dalam rangka memenuhi kesejahteraan rakyat.