Jika kedua kubu politik yang belakangan terciduk media justru saling serang dan menjatuhkan, bahkan masing-masing saling mengungkap keburukannya, jelas ini bukan bagian dari iklim kompetisi politik yang sehat dan demokratis.Â
Munculnya istilah "rezim panik" atau ungkapan "political gimmick" seolah-olah menunjukkan kedua kubu memang miskin visi-misi bahkan sepi ideologi politik.
Ungkapan-ungkapan ini tak lebih dari upaya pembelaan politik, sekadar berangan-angan, hanya sebatas penggiringan opini yang berawal dari "katanya" seraya diperkuat oleh emosi individual yang hampir sebatas ekspresi sebuah kepanikan.
Saya sangat menyayangkan, ketika salah satu kubu politik menyatakan akan membangun "pos pertempuran" lalu ramai-ramai dikomentari bahkan hampir tak menyentuh "substansinya" sama sekali.
Bukan suatu kebetulan juga, sehari setelahnya kubu lawan malah mempersiapkan isu-isu politik tandingan yang akan meng-counter segala kepanikan yang selama ini dituduhkan.Â
Politik sepertinya hanya sanggup bermain pada level isu-isu yang bersifat imaginatif-kontemplatif hampir tak mampu menghadirkan nilai substansi kepolitikan yang realistik-konstruktif yang semestinya memang diperjuangkan masing-masing kubu kontestan.
Saya kira, politik belakangan ini semakin kehilangan substansinya sebagai bagian dari upaya menjawab berbagai problematika kekuasaan yang tuntutannya tentu saja aspek-aspek kesejahteraan rakyat. Apa yang disebut ajang kontestasi tak lebih dari perang isu sekadar pelipur lara bagi setiap kubu yang dilanda memang dilanda kepanikan. Banyak hal-hal penting yang justru semakin tak menjadi perhatian bagi masing-masing kubu yang konon "bertarung" mati-matian demi mengurus lebih dari 200 juta rakyat Indonesia.Â
Saya kira, keberadaan berbagai kekuatan politik---baik yang formal maupun non formal---lebih sering berkonsentrasi membela kepentingan individu kontestannya dan kelompoknya, jauh dari wacana menghadirkan kesepakatan dalam rangka membela kepentingan nasional. Â
Sepertinya memang yang sedang panik tak hanya terbatas pihak yang berkontestasi, hampir setiap orang sepertinya ikut-ikutan dalam suasana kepanikan yang tak jelas.
Lihat saja berbagai komentar masyarakat yang sedikit banyak dapat menggambarkan suasana kepanikan yang entah panik terhadap apa. Media sosial terutama, yang menjadi basis tumpah ruahnya komentator-komentator pendukung dan partisan politik yang entah mereka sedang memperjuangkan apa.Â
Bahkan, media pun pada akhirnya harus memberi ruang kepada mereka, bahkan tak jarang kehilangan sisi objektifitasnya karena cenderung "membela" salah satu kontestan politik. Mereka yang panik, kemudian mengekspresikan "political gimmick" yang hampir tak pernah menyentuh hal-hal yang substansial dalam suatu realitas politik. Â