Ukurannya tentu hanya dapat diukur dari hasil kebaikannya tersebut, apakah ditiru oleh banyak orang lalu menimbulkan dampak kebaikan atau tidak. Sebab, kebaikan itu ibarat air yang dipakai untuk menyirami tanaman yang semakin sering disirami, semakin bertumbuh subur dan memberi manfaat kepada orang banyak.Â
Bahkan, ilmu pengetahuan itu ibarat pohon dengan akar, batang, dan cabang-cabang dan daun-daunnya yang rindang, meneduhkan dan menyejukkan. Lalu, amal ibadah itu ibarat buah, yang ketika tanaman dirawat dan dipelihara dengan baik, akan semakin banyak buah yang lezat bermanfaat dan bahkan dirasakan kemanfaatannya oleh lingkungan sekitar.
Itulah kenapa sebabnya, para ulama itu tak ubahnya pohon yang tumbuh dengan kuat, mengakar di tengah masyarakat dan ajaran-ajarannya yang mewujud dalam bentuk karya tulis, baik kitab-kitab, ulasan, atau nasehat-nasehatnya merupakan buah dari pohon tersebut yang sampai saat ini masih dinikmati dan dirasakan manfaatnya oleh umat. Tak perlu jauh melihat sosok ulama, kita dapat melihat pada diri pribadi salah satu ulama besar, Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali.Â
Ulama kelahiran Thus, Khurasan, Iran  ini hidup hanya sekitar 55 tahun saja. Umur yang relatif singkat tentu saja tak membuat ulama satu ini kekurangan amal ibadahnya yang dapat dilihat dari beragamnya karya tulis dan sumbangsih keilmuannya bagi umat. Mungkin ratusan karya Imam al-Ghazali yang tersebar sejauh ini dan hasil karyanya yang sungguh komplit karena ditulis dengan berbagai latar belakang disiplin keilmuan yang dikuasainya.
Imam al-Ghazali menulis soal tasawuf, filsafat, fiqih, politik, bahkan magnum opus-nya berjudul "Ihyaa 'Uluumuddin" adalah buah keilmuan yang sangat mendalam dan orisinil hasil pengalaman pribadi dan kontemplasi panjang pemikiran dirinya yang bergelut dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Karya ini menjadi rujukan banyak ulama di seluruh dunia, bahkan hingga saat ini.Â
Hebatnya, karya tulis ini juga menjadi rujukan penting para mahasiswa di Barat yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul, "The Revival of Religion Sciences" dan selama bertahun-tahun menjadi sumber paling akurat dalam mengkaji soal ajaran Islam.
Ulama tidak diukur oleh banyaknya pengikut, atau jumlah simpatisan yang menjadi pendukung setia di belakangnya. Tetapi, ukuran seorang ulama tentu saja seberapa banyak karyanya mendapat hati dalam masyarakat dan betapa banyak pemikiran-pemikirannya menjadi rujukan ulama lain atau karya-karyanya bermanfaat dan menjadi sumber utama ketika para ulama setelahnya membuat suatu karya tulis.Â
Inilah yang dimaksud oleh ucapan Imam Malik dimana ketika seseorang mengamalkan ilmunya yang diketahui, maka Allah menganugerahkan ilmu-ilmu lain yang sebelumnya tak pernah diketahui olehnya.
Imam al-Ghazali diberi gelar "Hujjatul Islam" menjelaskan kepribadiannya yang paling luas menguasai pengetahuan Keislaman. Jika gelar "al-Haafidz" disematkan kepada para ulama yang hafal dan menguasai seratus ribu hadis saja atau gelar "al-Haakim" hanya menduduki tingkat keulamaan yang menguasai dan menghafal kurang lebih tiga ribuan hadis, maka gelar "Hujjatul Islam" yang ditambahkan dengan "al-'Aalim al-'Allaamah" yang disematkan para ulama kepada al-Ghazali tentu saja melampaui semua batas semua itu.Â
Jadi, tak perlu kenemenen bela ulama, bahkan sampai-sampai yang jelas-jelas bersalah lalu dibela-bela, padahal yang dibela-pun belum tentu ulama. Tanyakan saja kepada figur-figur yang dibela itu, sudah berapa ratus ribu hadis yang dihafal dan dikuasai? Atau sudah berapa banyak karya tulisnya yang menjadi rujukan ulama lain dan juga umat? Sebuah pertanyaan mudah untuk mengukur tingkat akurasi keulamaan seseorang.
Ulama dengan demikian bisa siapa saja yang jelas ia benar-benar menguasai ilmu pengetahuan, lalu mengamalkannya dalam segala aspek kehidupan, dan karya-karyanya menjadi buah pemikiran yang jernih, menjadi rujukan dan bahkan diskusi banyak orang.Â