Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bahar bin Smith, Soal Majas, dan Citra Buruk Keturunan Arab

7 Desember 2018   11:13 Diperbarui: 7 Desember 2018   11:52 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Gaduh soal ceramah Bahar bin Smith yang menyebut Jokowi 'banci' di tengah perayaan acara Maulid di Palembang tahun lalu, sepertinya menjadi preseden buruk bagi mereka yang memang "berdarah" Arab. Bukan saja hal ini mengganggu para 'habaib' lainnya yang mengedepankan retorika secara lebih santun dan cerdas, namun tentu saja membuat citra negatif para warga keturunan Arab di Indonesia. 

Sejauh ini, muncul stigmatisasi yang terkadang negatif dari masyarakat soal ceramah agama beberapa orang keturunan Arab karena umumnya tentu saja provokatif, terlampau keras, bahkan terkadang berujung pada bentuk penghinaan pribadi yang dikemas secara majazi.

Istilah "majazi" atau metafora atau makna kiasan masih lebih baik sebagai bagian dari seni bertutur kata yang tetap berpijak pada maksa asalnya, tanpa harus membuat seolah-olah objek yang dibicarakan itu sangat buruk, negatif, atau keluar dari makna sesungguhnya. 

Jadi, saya rasa sangat naif ketika alasan Bahar bin Smith menyebut Jokowi 'banci dan datang bulan' lalu dihubungkan dengan seolah ini adalah makna kiasan yang tak bermaksud menghina seseorang. Tetapi, silahkan Anda menilai sendiri apakah kalimat yang kurang patut yang diungkap Habib Bahar adalah sekadar kiasan atau memang mengandung unsur kebencian.

Pembelaan soal adanya makna majas atau kiasan setelah ceramah Bahar dipersoalkan, sepertinya sekadar bentuk apologis yang tak berdasar. Menyebut penghinaan terhadap pribadi seseorang yang dikaitkan dengan realitas "majaz" dalam kaitannya dengan kajian bahasa Arab, sepertinya memang hanya mengada-ada. 

Kajian soal majas dalam bahasa Arab tak ada yang menyebut perumpaan secara buruk, karena metafora dalam kebahasaan lebih diarahkan dalam konteks seni bertutur kata, mengubah makna denotatif menjadi metafora, memperluas satu makna ke makna lainnya secara lebih lugas dan tepat. 

Saya kira, suatu penghinaan itu jelas dan bukan yang dimaksud sebagai metafora untuk menggambarkan maksud dalam pengertian yang tidak dalam kenyataannya.

Pelaporan kasus Bahar yang dilakukan relawan Jokowi, tak bisa dilihat dalam konteks politik: ada upaya kriminalisasi ulama yang sedang dijalankan lawan politik akibat persaingan dalam kompetisi. Namun yang pasti, terdapat ungkapan yang dirasa kurang patut dilakukan oleh seorang yang mengaku keturunan Arab, padahal banyak keturunan Arab yang lain yang lebih banyak menjaga lidahnya untuk lebih santun dalam berbicara. 

Belakangan ini memang ranah politik tanah air seperti dikepung oleh berbagai fenomena keagamaan bahkan seringkali menjurus pada konteks 'rasial' dan simbolik. Bagaimana tidak, isu keturunan Tionghoa sepertinya sedang "dilawan" oleh mereka yang keturunan Arab dan ini menjadi fenomena kepolitikan yang tak dapat dihindarkan.

Saya tentu saja sangat menyayangkan, betapa realitas simbolik para keturunan Arab ini seakan dipersepsikan berwajah radikal, sepi dari nilai-nilai moderat yang sejauh ini juga ditampilkan oleh wajah keturunan Arab lainnya. Sebut saja misalnya, Habib Luthfi bin Yahya atau Habib Syech bin Abdul Qadir as-Segaf yang terkenal dengan lantunan salawatnya dengan tentu saja memiliki banyak jutaan "penggemar" sejauh ini selalu menampilkan citra positif warga keturunan Arab yang selalu hadir menyejukkan dan membawa suasana bersahabat dengan umat. 

Bukan tidak mungkin, realitas politik ditengah memanasnya ajang Pilpres kali ini justru seakan memecah 'habaib' sendiri hanya karena ada salah satu warga keturunannya yang bertutur kata kurang patut.

Bagi saya, para 'habaib' merupakan orang-orang terhormat karena tentu saja memiliki hubungan langsung secara nasab dengan Rasulullah. Begitu banyaknya umat muslim yang memuliakan para habib tentu saja tak kemudian tercemari oleh pernyataan Bahar bin Smith yang sementara ini juga dicitrakan sebagai sosok yang memiliki nasab dengan Nabi Muhammad. 

Saya sendiri merasakan, betapa para habib itu memiliki aura yang luar biasa disaat saya berkumpul bersama-sama dengan mereka, karena tentu saja mereka selalu bertutur kata dengan sejuk, penuh makna, humoris, terkadang puitis.  

Saya tidak sedang berupaya memposisikan Habib Bahar sebagai penggerus citra buruk keturunan Arab di Indonesia, namun paling tidak, status dirinya yang saat ini menjadi tersangka karena kasus penghinaannya terhadap Jokowi seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi siapapun agar tak mudah tergelincir lidah terlebih dengan merendahkan atau menghina pribadi seseorang. 

Memang, soal delik hukum pasal penghinaan presiden sejauh yang saya tahu telah dihapus MK, namun ada beberapa delik lainnya yang dapat menjerat setiap orang ketika terbukti melakukan pencemaran nama baik sehingga merugikan pribadi orang lain. Pembelaannya soal ucapannya yang kurang patut sebagai bentuk majas atau perumpamaan, saya kira itu sekadar apologi saja yang tentu saja setiap orang dengan mudah dapat membedakan mana kiasan dan mana ungkapan kebencian, mana kritik dan mana retorika yang tak patut yang dialamatkan pada pribadi seseorang.

Indonesia tentu saja dibangun dengan sedemikian hebat berkat upaya dari anak bangsa dengan beragam latarbelakang keturunannya. Semua bersatu dalam koridor kebangsaan, tanpa harus merasa bahwa latar belakang etnis-nya lah yang lebih unggul. Politik memang seharusnya "menyatukan" berbagai perbedaan dengan kebersamaan terus menerus membangun peradaban Indonesia secara lebih baik dan berkemajuan. 

Soal pilihan politik, biarlah itu menjadi wilayah keyakinan pribadi yang tak ubahnya seperti iman yang "membebaskan". Iman adalah kebebasan, dimana setiap orang bebas dari segala kepercayaan apapun diluar dirinya yang tak mungkin dipaksakan. Iman itu seperti ketika anda naik kendaraan lalu dengan sangat yakin bahwa sang supir pasti akan membawa anda ke tempat tujuan tanpa harus mempertanyakan berasal dari mana supir itu, apa agamanya, keturunan siapa, atau apa pilihan politiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun