Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gerakan Moral vs Parlemen Jalanan

5 Desember 2018   15:04 Diperbarui: 5 Desember 2018   15:09 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejauh ini istilah gerakan moral umumnya didorong oleh rasa kepedulian untuk membantu pihak lain yang tentu saja sedang dalam kesulitan. Gerakan ini bisa berupa penggalangan dana yang dikumpulkan untuk siapapun yang terdampak musibah lalu membantu meringankan musibah yang menimpanya. 

Atau, gerakan moral lebih kepada manifestasi dari sikap bijak yang bernilai kemanfaatan agar dapat menjadi teladan yang baik sehingga kemudian ditiru prilakunya tersebut oleh orang lain. 

Gerakan ini menyimpan sebuah kekuatan "laten" moralitas (moral force) yang linier dengan bertumbuhnya nilai-nilai moral dalam masyarakat, sehingga tumbuh identitas sosial yang diikat oleh nilai-nilai solidaritas keumatan demi tujuan yang sama: membangun peradaban manusia.

Mungkin tampak kontradiktif, ketika upaya gerakan moral lalu diaktualisasikan menjadi bentuk parlemen jalanan yang setali tiga uang dengan gerakan politik. 

Istilah "parlemen" sendiri sesungguhnya identik dengan entitas politik yang biasanya terkait dengan berbagai macam kelompok politik atau parpol yang memang mengaktualisasikan dirinya dalam ranah politik: berjuang demi kelompok dan kepentingannya dalam hal-hal kebijakan yang berpengaruh terhadap kekuasaan. 

Jika parlemen jalanan lebih sebagai bentuk partisipasi politik yang disalurkan melalui gerakan politik di luar jalur parlemen, maka hampir tak ditemukan didalamnya suatu gerakan moral yang peduli terhadap peningkatan moralitas masyarakat melampaui batas nilai kepolitikannya.

Tak berlebihan, jika saya katakan bahwa Islam selain sebagai agama yang menyerukan nilai-nilai moral: keadilan, persamaan dan kasih sayang, juga mengandung ideologi keumatan dimana, kekuatan-kekuatan primordialisme justru dilebur kedalam bentuk gerakan moral untuk bersama-sama---tanpa diiringi identitas kekelompokan tertentu---melawan segala macam bentuk ketidakadilan, kesewangan-wenangan, kezaliman, atau bentuk entitas sosial-politik lainnya yang dirasakan negatif dan tidak bermanfaat bagi kesejahteraan umat. Jadi, seolah absurd jika ada yang menyebut sebuah gerakan moral yang didasari semangat keagamaan, tetapi kemudian disisi lain juga merupakan wujud dari suatu gerakan parlemen jalanan.

Jadi, benar jika kemudian muncul suatu kritik atas keberadaan gerakan yang diinisiasi para "alumni" ini agar mereka membentuk saja partai politik. Parpol jelas konsisten menyuarakan kepentingan politik---dan dapat juga menjadi gerakan moral---jika memang seluruh individu didalamnya berkomitmen menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat dan melawan kesewenang-wenangan kekuasaan. 

Mereka tentu tak perlu repot-repot terus berada di jalanan, menggelar mimbar bebas, atau sibuk membangun politik identitas. Agama dipersepsikan sebagai identitas politik yang diperalat untuk menggerakan sisi kognitif masyarakat, dimana seolah-olah ini murni gerakan moral padahal tak menghasilkan apa-apa, bahkan untuk membuat asumsi soal masyarakat yang sejahtera serasa masih jauh panggang dari api.

Saya justru menangkap ada sinyal yang mengarah kepada suatu gerakan "ideologis" untuk mengubah cara pandang masyarakat berdasarkan asumsi keagamaan, bahwa semua yang dilakukan merupakan gerakan moral, padahal sedikit demi sedikit menstigmatisasi ruang-ruang kogntitif mereka dengan entitas ideologi tertentu. 

Saya justru menilai, kekuatan-kekuatan politik tertentu yang ada di parlemen resmi memang sedang memainkan suatu peran bersama demi kepentingan tujuan politik: menangguk kursi kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan ketidaksukaan mereka terhadap kelompok-kelompok tertentu yang terbiasa melakukan gerakan moral: menciptakan rasa keadilan, toleransi dan menerima setiap perbedaan, dan selalu menghindari cara-cara kekerasan.

Kelompok-kelompok baru ini seperti sedang membuat gerakan tandingan dengan menunjukkan kemampuannya menggerakkan sekian banyak orang untuk peduli berada dalam barisan mereka seraya memprovokasi kelompok sosial lainnya yang telah lebih dulu ada. Klaim atas jumlah yang sekian banyak, menjadi hal penting sebagai bagian dari eksistensi mereka yang "membedakannya" dengan kelompok-kelompok sosial-keagamaan yang ada. 

Terkait atau tidaknya keberadaan mereka dengan suasan kontestasi politik, namun yang pasti jika benar mereka menyebut sebagai gerakan moral atau parlemen jalanan, maka dipastikan memang mereka sedang menancapkan ideologi tertentu dan menyebarkannya secara kognitif kepada khalayak dalam momentum yang benar-benar tepat.

Tak berlebihan jika saya menilai, terjadi pergeseran yang signifikan secara simultan pada kelompok ini, setelah sukses menggaet solidaritas umat melalui kesamaan identitas dalam melawan kasus penistaan agama, lalu berubah menjadi "kelompok partisan" dengan ikut dalam mempengaruhi kontestasi, lalu berubah kembali dengan menyebut dirinya gerakan moral sekaligus berpolitik lewat parlemen jalanan. 

Jika memang ini sebuah gerakan moral, maka sangat tak mungkin akan terus berpolitik menjadi barisan parlemen jalanan yang akan terus mengkritisi kekuasaan. Penanaman ideologi tentu saja perlu waktu cukup lama dan membutuhkan berbagai macam ruang eksistensi dan kebetulan mereka memanfaatkannya melalui semangat keagamaan yang belakangan menguat di tengah masyarakat akibat globalisasi media sosial.

Suatu gerakan ideologis umumnya memang selalu mencari momentumnya untuk mencapai setiap tujuannya dan kebetulan ruang-ruang gerak itu terbuka, terutama pasca reformasi bergulir di negeri ini. Suatu gerakan ideologis, tentu saja bertujuan untuk menandingi atau dalam hal tertentu justru menggantikan ideologi kebangsaan yang saat ini ada. 

Melihat pada efek gerakannya yang lebih didominasi politik identitas, sepertinya mereka sedang menggaungkan sebuah ideologi tandingan yang lebih hebat, lebih kuat, lebih sakral dibanding ideologi yang saat ini ada. 

Jadi, hampir tak mungkin suatu gerakan moral tetapi dikooptasi secara terus menerus, bahkan tampak menonjolkan sisi ideologinya daripada semangat gerakan moralnya. Jika memang mau menjadi gerakan moral, perkuatlah nilai-nilai moral yang secara universal diterima semua pihak, bukan klaim atas moralitas yang dikooptasi dan dikuasai secara sempit dan partisan sesuai kelompoknya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun