Fenomena Gus Nur yang sedemikian viral, tentu saja akumulasi dari begitu maraknya "ulama-retoris" yang kurang menjaga nilai-nilai etikanya di ruang publik. Bukan apa-apa, ulama sebagaimana yang saya pahami, jelas merupakan figur penerus para nabi yang tentu saja terkumpul dalam dirinya ajaran keadaban.Â
Dalam diri seorang nabi terkumpul seluruh pengetahuan, moral dan keadaban, sehingga didaulat menjadi teladan umat atas seluruh ucapan dan prilakunya. Jadi, sangat menyesatkan saya kira, jika ulama sekadar disimplifikasikan sebatas ahli retorika agama sekalipun tak menjalankan laku sebagaimana penerus ajaran para nabi.
Lagi pula, melihat pada ajaran para nabi yang ditularkan kepada para ulama, hampir dipastikan bukanlah terletak pada sisi penguatan retorisnya, tetapi lebih kepada pembentukan pribadi yang saleh, penuh dengan nilai-nilai keadaban dan moral, menyayangi sesama, bahkan dalam banyak hal terkadang membalas keburukan dengan kebaikan.Â
Nabi Muhammad bahkan pernah menyindir para ahli retorika yang kosong "nilai" dan dianggap laku kemunafikan. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad merupakan pribadi yang dikenal singkat ketika berpidato, namun sarat nilai dan makna, bahkan hal ini diikuti oleh seluruh sahabat-sahabatnya yang beretorika lebih singkat dari Nabi.
Retorika yang kuat dan berapi-api penuh semangat, sepertinya belakangan lebih banyak digandrungi masyarakat. Mereka seperti terbuai dan tunduk oleh kata-kata namun hampir kehilangan kesadaran dalam memetik pelajaran dan maknanya.Â
Seringkali nilai substantif dalam suatu retorika malah dicampakkan dan dibuang dan kebanyakan mengagumi aspek retoris, padahal retorika seringkali menyetir hawa nafsu tanpa sadar untuk berlaku buruk. Bahkan, kekuatan retoris seringkali dipandang sebagai wujud kebenaran yang tanpa harus dipertanyakan. Maka, wajar jika kemudian ada yang menyebut "ulama" kepada siapa saja yang ahli retorika dalam bidang keagamaan.
Bagi saya, ulama justru bukan mereka yang piawai beretorika, tetapi justru yang hampir menjaga retorikanya dari segala dampak negatif bahkan mungkin menyembunyikannya.Â
Ulama yang baik memahami bahwa retorika yang terlampau diumbar justru lebih banyak berdampak keburukan, terlebih jika retorika sekadar bentuk pemuasan hawa nafsu dalam mempertontonkan kemarahan. Efek "negatif mulut" tentu saja lebih berbahaya, terlebih ketika mewujud dalam nuansa kebencian, fitnah, ghibah atau segala hal yang diungkap untuk tujuan memperburuk citra orang lain atau suatu kelompok. Dengan menjaga retorika dengan baik, justru berkesempatan menyelamatkan banyak pihak, tak hanya bagi diri sendiri, namun bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Kebebasan beretorika tentu saja dibatasi oleh nilai-nilai hukum yang berlaku dan disepakati masyarakat. Alangkah eloknya jika unsur retoris itu dibungkus oleh kedalaman ilmu dan moral, mengajak kepada aspek moralitas yang lebih kuat membangun keadaban, bukan malah memperkeruh atau menghancurkan nilai-nilai keadaban itu sendiri.Â
Mereka ahli retorika yang dianggap sebagai "ulama", tentu saja tak terlepas dari nilai-nilai hukum moral yang hidup ditengah-tengah umat. Penting diingat, bahwa Tuhan saja akan membalas setiap kebaikan dengan kebaikan yang berlipat, termasuk satu kata yang meluncur dari mulut, jelas akan menjadi entitas kebajikan yang senantiasa hidup dan menghidupkan.
 Lain halnya dengan perkataan buruk, selain mendapatkan sangsi moral, laku buruk ini akan tetap dinilai sebagai keburukan yang mungkin saja tak terputus, selama diikuti oleh orang lain.