Kampanye Pilpres 2019 sepertinya didominasi oleh bahasa "politik keagamaan" yang terkadang merusak nilai-nilai esensial dari pemaknaannya tersebut. Jika hal ini merupakan upaya dalam meraup suara, maka politik jatuh sekadar ajang pertarungan narasi yang melawan demokrasi.Â
Politik sebatas upaya pemenuhan selera publik yang diramaikan oleh narasi-narasi yang mengeksploitasi bahasa agama, miskin gagasan dan ide yang bernilai politik-kemanusiaan. Politik seharusnya merupakan entitas paling mulia dalam mengangkat derajat kemanusiaan yang bebas berkeadilan, bertanggungjawab dengan tujuan besar memberikan seluas-luasnya kesejahteraan rakyat.
Bukan tidak mungkin, kenyataan politik disela aroma Pilpres lebih banyak diramaikan oleh persaingan naratif yang gagal menangkap pesan-pesan penting demokrasi. Anehnya, bahasa agama justru dipersempit sekadar pemenuhan atas hasrat politik dan memperkosa maknanya demi kepentingan meraup suara.Â
Tak heran, ketika pada awal Pilpres, istilah santri tiba-tiba melejit menjadi semacam komoditas politik dengan beragam varian yang menggelikan. Ada istilah santri post-islamisme yang seolah-olah santri itu sebagai pelajar muslim yang "melewati" batas-batas keislamannya. Entah apa yang dimaksud "post-islamisme" yang dilekatkan kepada santri, kecuali memang ada upaya "politisasi" yang menggiring bahasa agama menjadi komoditas politik tertentu.
Soal santri ini seolah menjadi identitas politik yang sangat penting dan menjadi nilai jual politik bagi seorang kandidat. Entah apakah komoditas bahasa agama ini terkait dengan jumlah mayoritas muslim di negeri ini yang kemudian "diperjual-belikan", ataukah memang para politisi sudah kehabisan akal karena minimnya pengetahuan politik.
Pilpres kali ini serasa hanya sebatas greget politik yang hampir tak kuasa menarasikan ide-ide konstruktif yang lebih dapat diterima publik. Tak ada lagi narasi demokrasi yang lebih rasional, sebagai bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat. Yang ada narasi saling serang, provokatif, seraya menjadikan bahasa agama terdistorsi oleh kepentingan kekuasaan.
Istilah-istilah bahasa agama yang tak kalah pentingnya adalah soal "tobat" dan "hijrah". Bahasa agama ini justru kehilangan makna filosofinya ketika dipergunakan dalam narasi politik. Tobat dalam bahasa agama merupakan aspek kesadaran tertinggi dalam diri seseorang untuk "kembali" kedalam fitrah kemanusiaannya.
Bahkan, dalam tradisi sufistik, tobat merupakan entitas tertinggi dalam dimensi kemanusiaan karena dengan tobat, manusia akan lebih dekat dan mampu membuat jarak semakin tak berarti dengan Tuhannya.
Namun, istilah-istilah ini justru malah semakin rancu ketika dikaitkan dengan realitas politik, seperti ada ungkapan agar politisi bertobat setelah meminta maaf. Tobat seakan menjadi hanya identik dengan aspek kemanusiaan, padahal ia lebih berkonotasi Ketuhanan yang "sakral", karena hanya dirinyalah dan Tuhan yang mengetahui pemaknaannya ini.
Agak asing ditelinga rasanya, ketika istilah "hijrah" lalu dipersepsikan agar seorang kandidat berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam konteks politik, hampir tak ada seseorang berhijrah dalam konotasi keagamaan yang berubah menjadi lebih baik, karena yang ada justru pribadi-pribadi yang membela kepentingan kolega dan kelompoknya sendiri.
Hijrah memiliki konotasi "totalitas" yang secara esensial merubah seseorang untuk lebih berkhidmat kepada Tuhan dengan menghindari aspek-aspek keburukan yang merusak hubungan-hubungan dirinya dengan Tuhan dan manusia. Istilah ini ketika diterapkan dalam konotasi politik, justru menjadi semacam "ultimatum" yang sarat kepentingan seraya mencemari bahasa agama sekaligus mengaburkan maknanya. Â
Bahasa agama seperti menjadi "klaim hegemonik" dalam seluruh aktivitas politik. Bahkan seringkali tanpa sadar, menjadi semacam agitasi rendahan yang selalu dipermainkan, lalu dijadikan identitas politik dalam hal positioning untuk sekadar merebut simpati pemilih.
Kadang yang mengherankan, seorang tokoh agama-pun bisa terjebak dalam konfrontasi narasi keagamaan seperti ini, menggunakan istilah keagamaan yang sama sekali tidak pada tempatnya. Walaupun istilah "budek-tuli" tak seluruhnya cermin realitas bahasa agama, namun ketika diucapkan dari mulut seorang yang dianggap pemuka agama, jelas menjadi masalah terlebih ia sedang berposisi sebagai calon kandidat politik. Â
Narasi keagamaan terus menyeruak dalam Pilpres 2019, sejak dari istilah santri yang semakin kabur hingga soal bendera yang semakin ngawur, bahkan tobat dan hijrah yang berkonotasi negatif dan kurang terukur. Bahasa agama semakin mantap menempatkan posisinya menggantikan istilah-istilah politik yang lebih umum dan dapat diterima masyarakat. Bahasa agama menjadi eksploitasi para politisi sekadar memenuhi ambisi dalam wacana besar narasi kepolitikan republik ini.Â
Bukan tidak mungkin, mereka yang sedang berkompetisi dalam ajang politik, sama-sama sedang melakukan "politisasi" terhadap agama mayoritas di negeri ini, disadari maupun tidak. Agama sudah semakin jauh masuk kedalam wilayah politik yang dibuktikan melalui berbagai narasinya yang justru bercitra negatif, tidak positif.
Bahasa agama sepertinya memainkan peran cukup penting dalam meraup berbagai keuntungan elektabilitas, tak peduli soal ambruknya nilai-nilai moralitas. Saya kira, kita patut meneladani adagium terkenal soal pemisahan agama dan politik yang juga pernah digaungkan Buya Hamka ketika masa-masa revolusi kemerdekaan.Â
Biarkanlah agama menjadi bagiannya dalam konsep dan praktik keagamaan dengan bahasa yang "disakralkan" secara agama. Ketika bahasa agama menjadi hegemoni dalam kegiatan politik dan dibahasakan sesuai selera politisi, maka hal ini sama halnya tak berlaku lagi soal dikotomisasi agama-politik.
Desakralisasi bahasa-bahasa agama seakan menemukan momentumnya disini, bahkan tak jarang justru menjadi pemicu konflik dalam hal perebutan kekuasaan. Bahkan, agama kehilangan kesakralannya karena terus menerus dijadikan komoditas dalam narasi politik kekuasaan yang bersifat profan.
Penting untuk diingat, bahwa sebagai negara yang mempraktikkan cara-cara berdemokrasi, masing-masing pihak seharusnya mengembalikan fokus politiknya dalam ajang kompetisi yang juga lebih bernilai demokratis. Narasi-narasi politik semestinya dapat menghindari penggunaan istilah bahasa agama yang justru mengaburkan bahkan mendistorsi istilah-istilah keagamaan tersebut.Â
Kita justru sedang "melawan" narasi agama agar tetap "sakral" pada tempatnya, bukan malah mencemarinya dengan memperhadapkannya dengan narasi kepolitikan sepihak. Mari berkompetisi secara demokratis dengan tetap berada di jalur fatsoen politik yang membangun dan mencerdaskan publik, bukan sekadar ajang pertarungan narasi yang malah kebablasan "memperkosa" bahasa agama menjadi sekadar pemenuhan ambisi politik sesaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H