Sulit untuk tidak mengatakan, aroma klenik juga menyengat di setiap ajang kontestasi politik yang dipraktikkan para kontestan agar dapat menang, tak peduli walaupun bertentangan dengan konsep rasionalitas politik.
Saya juga meyakini, bahwa para peserta tes CPNS yang membawa jimat jelas sedang mengangkangi akal sehatnya, bahkan tak percaya sama sekali dengan kemampuan dirinya sendiri.Â
Soal keyakinan terhadap jimat, wifiq, rajah, besel, atau apapun bentuknya memang sulit diberangus, sekalipun masyarakat telah berada di penghujung abad modern.Â
Sulit mengubah keyakinan seseorang yang mempercayai hal-hal klenik untuk tidak mempercayai atau beralih untuk lebih rasional, kecuali ketika kita sendiri telah merasakan masuk dalam fenomena dunia klenik itu sendiri.
Bagi saya, keunikan bangsa Indonesia justru ada pada fenomena kleniknya, bukan soal rasionalitasnya, karena rasionalitas itu produk budaya asing yang diserap oleh mayoritas masyarakat urban.
Lalu, apakah soal CPNS ini terkait erat dengan jumlah pengangguran di negeri ini yang cenderung meningkat? Atau memang jumlah lapangan kerja sangat terbatas sehingga membentuk mindset masyarakat lebih pragmatis? Mungkin saja berada di lini birokrasi bagi mereka lebih memudahkan segala urusan, terutama soal keuntungan materi sekaligus peningkatan status jabatan di pemerintahan yang tak begitu kompetitif. Klenik, mungkin saja bagian dari pragmatisme masyarakat ditengah arus deras sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan.
Soal klenik dalam pelaksanaan tes CPNS bukanlah temuan baru, karena di tahun-tahun sebelumnya juga pernah ditemukan. Jangan pernah menganggap enteng soal klenikisasi ini, terlebih kemudian sekadar menjadi bahan lelucon publik.Â
Bagi saya, hal ini terkait erat dengan iklim kompetisi dalam banyak hal menjadi barang mahal karena harus dimuluskan melalui asumsi-asumsi keekonomian.Â
Keberadaan dunia klenik menjadi linier dengan iklim kompetisi di banyak lini yang bisa disebut buruk atau bahkan sekadar formalitas. Publik mungkin saja sudah bosan dengan cara-cara birokratik yang cenderung menihilisasi akses kompetisi dan membuka jalur-jalur lain---bahkan mengkanalisasinya---secara lebih pragmatis dengan acuan keuntungan secara keekonomian.
Membuka lebar-lebar mata dan pendengaran kita, serasa seringkali kita mendapatkan informasi yang sedemikian rumit soal birokrasi. Bahkan, dalam banyak hal justru cenderung irasional dalam arti bahwa proses birokrasi kita sedang "sakit" akibat hilangnya iklim kompetitif karena dipenuhi drama koruptif.Â
Memanfaatkan akses klenik dalam hal birokrasi mungkin saja menjadi pilihan, sebagai bagian dari perlawanan atas suasana birokrasi yang memang irasional.Â