Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Al-Makiyun dan Tampang Boyolali

5 November 2018   13:00 Diperbarui: 5 November 2018   15:17 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tentu tak berharap, dimana indikasi pemberantasan korupsi yang semakin membaik disatu sisi, tetapi justru malah diperburuk bahkan dihambat oleh isu narasi politik negatif yang merusak disisi lainnya. 

Penting bagi saya, bahwa komunikasi politik yang baik dan berimbang antarberbagai elemen anak bangsa, akan menghilangkan tingkat kecurigaan salah satu pihak, bahkan terbangun suasana kondusif ke arah penguatan demokratisasi politik. 

Jangan sampai karut marut politik malah menciptakan kondisi baru yang bersifat memecah belah, sehingga yang terjadi justru "pembusukan" politik dan jauh dari harapan besar negara demokratis.

Munculnya kelompok "al-makiyun" dalam ranah politik justru akan menambah beban demokrasi yang saat ini justru sedang terseok-seok ditapaki negeri kita ini. Politik yang sehat, tentu tidak dibangun atas dasar caci-maki, hujatan, nyinyiran, atau saling merendahkan antarpihak.

Namun ia harus dibangun atas fondasi kesantunan dalam setiap narasi politik, tetap memandang kesamaan derajat dalam setiap situasi kompetitif, dan membangun citra diri yang positif dalam perspektif persatuan dalam keragaman. 

Harus disadarkan bagi para elit, dimana Indonesia dengan wujud mayarakat multietnis dan multikultur, tak mudah dipecah belah oleh hal apapun, terlebih hanya oleh frasa-frasa negatif dalam setiap narasinya.

Jangan sampai kita membuang energi yang sia-sia hanya sebatas meributkan soal bendera atau ungkapan "tampang boyolali" yang tak berarti. Apalagi sampai bupati ikut-ikutan mendemo soal narasi politik negatif sekadar ikut bersolek memanfaatkan aktor dalam drama narasi politik. 

Masih sangat banyak pekerjaan rumah negara ini yang tak sesederhana mewujud sekadar soal balasan atau tangkisan dalam hal narasi-narasi politik negatif. 

Jangan pernah melupakan bahwa kita ini berada dalam sebuah negara besar yang tak mungkin terpecah kedalam kelompok-kelompok primordial yang fanatik, apalagi hanya melihat berdasarkan kacamata kuda lalu nabrak-nabrak tak jelas arah tujuannya. 

Negara besar itu ditakuti dan diakui ketika bersatu, dan akan dipandang rendah dan dipermainkan jika saling berseteru apalagi berkutat menyoal nomor dua atau nomor satu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun