Mungkin tak ada salahnya, mengutip ungkapan salah satu tokoh muslim kenamaan, Ibnu Rusyd (1126-1198) ketika melihat fenomena kebatilan---dalam konteks upaya merusak tradisi dan nilai-nilai dalam masyarakat---yang sedemikian mudah diikuti, kemudian dimanfaatkan dalam ruang-ruang publik kekuasaan. Ia menulis, "idza aradta an tatahakkama fi jaahilin fa 'alaika 'an taghlafa kullu baathilin bi ghalaafi diini" (jika engkau ingin menguasai orang-orang bodoh, maka bungkuslah sesuatu yang bathil dengan kemasan agama). Saya kira, ada benarnya ungkapan Ibnu Rusyd dengan melihat fenomena gejolak sosial-politik belakangan ini, dimana agama seringkali dimanfaatkan untuk menutupi "kebathilan" yang sejauh ini diskenariokan gerakan-gerakan tertentu untuk membongkar, menumbangkan, dan memberangus nilai-nilai tradisi keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan.
Merawat tradisi tentu lebih sulit dan bahkan jauh lebih beresiko ketika harus menjadi penjaganya. NU dan Muhammadiyah, saya kira, sedang berjibaku "menghadang" dan "melawan" gerakan-gerakan antri-tradisi yang kini justru berubah menjadi gerakan politik. NU bahkan tampak lebih "keras" dalam melakukan perlawanan, sehingga seolah-olah ormas ini dipersepsikan sebagai kelompok yang "bertentangan" dengan Islam sehingga muncul aksi-aksi politik yang mewacanakan pembubabaran salah satu organisasi sayapnya. Perlu diingat, kedua ormas ini telah lama menjadi pioneer bagi tradisi keagamaan, sosial-politik, yang selama ini selalu akomodatif terhadap kekuasaan. Mereka telah merawat dan menjaga tradisi keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan secara harmonis. Lalu, jika ada gerakan-gerakan tertentu yang mencoba mengganggu harmonisasi ini, akankah mereka tinggal diam? Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H