Istilah "politik sontoloyo" tiba-tiba ramai menjadi perbincangan di media dan menjadi perdebatan cukup sengit di ranah publik. Hal ini bukan karena istilah tersebut memang frasa absurd yang memang ditujukan bagi para politisi "ngasal" yang gemar mempolitisasi banyak hal, namun persoalannya ada pada siapa sang pengucap istilah tersebut.Â
Saya sendiri sepakat dengan Pak Jokowi yang pertama kali melontarkan istilah "sontoloyo" ini pada suatu entitas politik, karena sejatinya politik itu cara bagaimana mendapatkan kekuasaan. Suatu cara tentu saja dapat dilakukan melalui media apa saja dan politik tentu saja aspek dimana segala macam cara "dihalalkan".
Bukan suatu kebetulan, bahwa istilah ini justru muncul ditengah ramainya isu pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh beberapa oknum salah satu ormas. Sehingga, seakan-akan, terjadinya kisruh ini memang disebabkan oleh kenyataan politik yang sontoloyo. Saling silang apakah yang dibakar itu bendera ormas atau bendera "tahlil" semakin menunjukkan betapa sontoloyonya politik di negeri ini.Â
Saya kira, andapun memiliki pendapat sendiri terhadap kekisruhan ini, dengan dalih masing-masing yang sangat bertolak belakang, karena yang satu kubu memandang itu bendera ormas sehingga membakarnya sebagai perwujudan cinta NKRI, disisi lain, menganggap itu bendera tahlil yang justru perbuatan berlebihan yang melecehkan simbol agama.
Saya pribadi menganggap, melakukan pembakaran terhadap simbol apapun, jelas perbuatan yang tidak menyenangkan dan dapat memicu permusuhan antarelemen bangsa. Apakah itu bendera tahlil dengan tulisan kalimat tauhid ataukan simbol bagi organisasi yang memang secara nyata telah dibubarkan negara.
Namun demikian, ditengah ruang politik sontoloyo, segala hal yang benar dapat dipersalahkan, begitupun sebaliknya, kenyataan yang memang salah justru dapat dibenarkan. Munculnya saling silang sebagai reaksi dukungan publik terhadap salah satu pihak dengan klaim kebenaran sendiri-sendiri, jelas menambah sontoloyo kepolitikan di negeri ini.
Mungkin benar adanya, bahwa apapun fenomena di Bumi Pertiwi ini selalu saja dikaitkan dengan politik. Mereka lupa, bahwa krisis ekonomi dan kesenjangan sosial semakin terasa menganga, tetapi tak dipedulikan sama sekali. Anehnya, friksi soal apakah itu bendera tauhid atau bendera ormas semakin menajam dan meluas terkena dampak politik sontoloyo yang memang sengaja dimanipulasi oleh para politisi "ngeyel".
 Saya sendiri tak heran dengan ajang kepolitikan seperti saat ini, walaupun kadang merasa jengkel atas semakin mudahnya isu-isu tertentu digiring secara sontoloyo agar dapat mendapatkan "pembenaran" secara politik.
Saya sendiri hampir terpancing oleh suasana politik sontoloyo yang memang sengaja dibuat oleh para politisi yang "tidak baik", menciptakan suasana friksi antarkelompok semakin tajam dengan memoles "baju politik" seakan "baju agama".
Ada benarnya memang, dimana "orang baik tidak menjadi politisi" dimana tanda kutip memperlihatkan bahwa sesungguhnya orang-orang baik itu adanya di luar sana, menjauhi simpul-simpul kekuasaan politik yang terikat secara sontoloyo. Saya tidak akan berapologi untuk membenarkan apapun yang jelas-jelas meresahkan masyarakat, karena lebih baik mengamati tidak ikut-ikutan arus friksi yang memang dimodifikasi.
Sebagai seorang muslim saya sangat meyakini, bahwa apapun yang menimbulkan kerusakan di muka bumi---baik itu kerusakan secara sosial, moral, maupun politik---sama halnya dengan "merusak sesuatu yang sebelumnya telah diperbaiki" (tufsiduu fil ardli ba'da islahiha).Â