Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pembakar Bendera Bisa Dijerat Pasal Kebencian

23 Oktober 2018   09:53 Diperbarui: 23 Oktober 2018   17:54 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah apa yang ada dalam pikiran mereka yang dengan penuh kebencian membakar bendera. Padahal, bendera tak menunjukkan arti apapun, kecuali secarik kain yang seringkali dikaitkan dengan identitas kekelompokan. Apapun dalihnya, membakar bendera milik kelompok tertentu adalah ekspresi kebencian yang mendalam dimana secara agama dan hukum jelas tidak dibenarkan. 

Agama melarang siapapun untuk membenci sekalipun bersalah, terlebih jika tidak. Kebencian tentu saja akan mendorong kepada permusuhan yang pada akhirnya timbul konflik kekerasan dimana hal ini mengganggu keutuhan bangsa dan negara.

Dalam ajaran Islam, menyakiti orang lain dengan cara apapun, termasuk mencaci maki terlebih  menebarkan kebencian, merupakan ajang membuka aib yang tanpa disadari telah membuka borok dirinya sendiri di depan publik. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad sangat marah ketika ada di antara umatnya yang saling membenci. 

"La tu'dzuu 'ibadallahi wa laa tu'ayyiruuhum wa laa tathlubuu 'auraatihim" (Janganlah kalian sakiti hamba-hamba Allah dan janganlah kalian caci-maki dan jangan kalian menuntut agar saudaramu membuka auratnya). Siapapun pasti kecewa jika rasa kebencian dikobarkan kepada pihak tertentu yang dengan jelas ditunjukkan oleh perusakan simbol-simbolnya.

Jika ungkapan kebencian ditegaskan ke publik terlebih sengaja disebarkannya, hal ini juga dianggap sebagai upaya melawan hukum. Saat ini, soal ujaran kebencian yang dipublikasikan di media sosial jelas berimplikasi hukum sesuai dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Walaupun seringkali ketentuan pasal ini multitafsir terkait apa sebenarnya yang dimaksud "rasa kebencian" yang dimaksud, namun paling tidak ada upaya hukum untuk memberikan rasa keadilan masyarakat. 

Frasa "kebencian" memang terkait dengan perasaan yang tentu saja sulit dibuktikan, kecuali memang ditunjukkan dengan ucapan dan perbuatan. Lalu, bagaimana dengan ungkapan rasa kebencian yang ditujukan kelompok tertentu dalam hal melakukan pembakaran terhadap simbol-simbol, seperti bendera? Saya rasa anda dapat menilainya sendiri.

Wajar jika banyak pihak yang kecewa terhadap kejadian pembakaran bendera terlebih didorong oleh betapa besarnya rasa kebencian dalam diri para pembakarnya. Yang menjadi sangat disayangkan, kejadian itu berlangsung ditengah hari jadi santri dimana teladan atas nilai-nilai moralitas para santri, sebagai masyarakat pencinta ilmu, pengabdi guru, hormat dengan sesama, toleransi, menjaga tradisi baik dalam berbangsa dan bernegara, justru tercoreng. 

Bukankah jelas bahwa santri adalah pencari ilmu dengan tujuan sebagai sarana mencapai ketakwaan kepada Tuhan? Takwa tentu saja penuh dengan nilai-nilai moral kebajikan yang menghiasi setiap orang yang gemar mencari dan mencintai ilmu pengetahuan. "Afdlalul 'ilmi 'ilmu al-haal wa afdlalu al-'amal hifdzu al-haal" (ilmu yang paling utama adalah prilaku/akhlak dan prilaku yang paling utama adalah menjaga akhlaknya), demikian bunyi teks yang tertera dalam kitab utama para santri, Ta'lim al-Muta'allim.

Peringatan Hari Santri Nasional justru dirusak oleh oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan dirinya santri, padahal bukan. Saya yakin, santri jelas memiliki nilai kewarasan berpikir, kedewasaan bertindak, dan tentu saja selalu menjaga nilai-nilai moral yang diajarkan para guru dan kiainya. Santri adalah elit masyarakat karena secara sosial terdidik dan mendapatkan kelebihan ilmu pengetahuan dibandingkan masyarakat lainnya. 

Sudah sejak dulu, para santri sangat dihormati masyarakat karena sikap dan prilakunya yang terpuji, cerdas, dan sangat menghormati sesamanya. Hampir tak pernah ditemukan dalam sejarah, santri dituduh sebagai pembenci atau bahkan membuka auratnya sendiri dengan menebarkan kebencian kepada pihak lain yang jelas saudaranya sendiri.

Bagi yang merasa santri, tentu saja merasa kecewa dengan adanya prilaku menebar kebencian kepada sesama santri yang juga sedang mempelajari agama Islam. Tidak hanya itu, definisi santri sebagaimana termaktub dalam KBBI, sebagai "orang yang saleh" jelas menafikan segala macam terkait prilaku buruk dan tindakan apapun yang mendorong upaya kebencian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun