Jangan sampai moralitas kaum santri tergadaikan oleh aspek politik-kekuasaan yang sekadar memanfaatkan suara mayoritas mereka disaat semakin dekatnya ajang kontestasi. Saya kira, ada baiknya catatan Syekh al-Zarnuji yang melakukan otokritik terhadap santri, dimana kesungguhan para santri dalam menggali pengetahuan tak sebanding dengan kemanfaatan yang ditimbulkan.
Repolitisasi kaum santri tak harus berarti entitas dirinya terus menerus berada dalam bayang-bayang politik kekuasaan, tetapi soal bagaimana aspek keilmuan agama yang diaktualisasikannya membayangi seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kekuatan moral-politik yang terus ditawarkannya.Â
Kaum santri bukan komoditas politik apalagi sekadar ajang eksploitasi penguasa dalam rangka mencari dukungan politik. Kesantrian adalah wujud nyata kesalehan sosial yang berdedikasi bagi terciptanya kecerdasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya, santri tak boleh diklaim sebagai milik satu golongan apalagi kelompok tertentu, karena santri sejatinya mereka yang gemar mencari ilmu demi tujuan bermanfaat bagi khalayak.
Jangan sampai definisi santri justru semakin mempersempit atau bahkan mengaburkan tujuannya sebagai para pencari ilmu dengan tujuan kemanfaatan. Tak salah, ketika salah satu otokritik dilontarkan Al-Zarnuji ketika menulis dalam kitabnya, "Ta'lim al-Muta'allim" dengan menyatakan, "siapa yang salah jalan tentu tersesat dan tak akan pernah sampai kepada tujuannya" (kullu man akhtha'a ath-thariiqa dlalla, wa laa yanaalu al-maqsuuda qalla au jalla).Â
Dengan demikian, saya berasumsi bahwa santri itu mindset-nya tawakal---karena keikhlasan dan kecintaannya pada pengetahuan---pikirannya cerdas dan waras, hormat kepada siapapun, menyukai nasehat dan tidak ambisi---karena salah satu syarat kemanfaatan ilmu adalah nirambisi dalam hal apapun.
Penting juga untuk diperhatikan, nilai kesalehan yang dibawa oleh kaum santri sulit tergantikan oleh hal apapun. Kesalehan tak hanya berdampak pada penghormatan yang sangat luar biasa kepada para gurunya, namun justru menghormati sesamanya, tanpa merendahkan, membenci, terlebih mencaci-maki.Â
Para santri tergolong masyarakat yang mencintai ilmu pengetahuan yang kemudian terserap dalam setiap prilaku mereka yang sangat menjunjung tinggi aspek moralitas. Mereka bukan kaum apolitis, tetapi memahami aspek politik sebagai bagian dari nilai-nilai moral yang harus diperjuangkan.Â
Itulah sebabnya, santri seharusnya tidak dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan politik, tetapi justru mereka harus mampu memanfaatkan sebaliknya melalui penyebaran nilai-nilai etika dan moral dalam mencapai tujuan besar kemanfaatan dan kemaslahatan.
Sangat disayangkan, jika repolitisasi santri hanya berhenti sekadar pemenuhan aspek kekuasaan politik berjangka pendek dengan menjadi pendukung kelompok tertentu, dimobilisasi secara politik demi tujuan elektabilitas, lalu meninggalkan aspek-aspek moral politik sebagai kelompok elit yang limbung dalam menjaga kewarasan berpikirnya.Â
Bukankah belakangan marak dimana terdapat kelompok santri justru lebih kental dalam mendukung salah satu kandidat politik, ikut asik dalam ruang-ruang kekuasaan, membelanya tanpa reserve, bahkan secara terang-terangan mendedikasikan dirinya untuk penguasa? Terkadang hampir tercerabut makna kesantrian sebagai pemegang teguh nilai etika dan moral sebagai kelompok elit masyarakat yang gandrung akan ilmu pengetahuan.
Sudah selayaknya, repolitisasi santri diperkuat sebagai kelompok elit masyarakat yang siap membenahi seluruh aspek kehidupan sosial-politik dengan cita rasa moralitasnya yang tinggi, menjaga jarak dengan kekuasaan seraya memperkuat ikatan-ikatan solidaritas sosial tanpa membedakan agama, kelompok, atau afiliasi politik.Â