Cara pandang pragmatisme terhadap berbagai hal belakangan memang marak, sejak makanan cepat saji mewabah seiring perubahan zaman. Yang menggelikan, politik-pun ikut-ikutan semakin praktis mengolah cara-cara pintas bagaimana beban elektoral tak memberatkan, lalu berjualan diri dengan cara-cara instan. Isu-isu-pun dibangun sedemikian rupa demi mengurangi beban elektoral yang terlampau berat.Â
Demi nafsu elektabilitas, mereka memobilisasi isu yang membakar semangat, tak peduli jikapun harus saling serang atau saling hujat. Laku politik siap saji sepertinya menjadi tren bahkan lambat-laun membodohi dan membutakan cara-cara sehat berpikir masyarakat.
Politik dijalankan dengan cara-cara instan, pragmatis, mencari keuntungan materi bersifat keekonomian. Modal politik tak bukan modal duit dimana semakin banyak duit yang dimiliki, maka dipastikan memenangkan ajang kontestasi.Â
Tidak hanya itu, agar elektabilitasnya melejit, bangunlah isu-isu tertentu secara cepat, terutama yang sanggup membakar semangat, semua nampaknya sudah dipersiapkan di dapur-dapur politik lalu disajikan secara cepat kepada masyarakat. Dapur-dapur itu memang dipersiapkan menggodok dan memasak politik siap saji yang setiap saat dapat dikonsumsi.
Jika dulu orang-orang dipacu untuk belajar, mencari dan menghimpun banyak ilmu dan ajaran dengan cara tidak instan, kini hanya kepicikan yang dipertontonkan. Mereka kurang belajar, karena yang penting bagaimana caranya pintar berkoar-koar. Jika dulu ilmu itu menjadi penghias prilaku, kini ilmu diburu sekadar pemanis yang berdaya pikat bagi kebanyakan orang.Â
Pragmatis aja, ilmu itu titel berderet, tak perlu kualitas, yang penting formalitas lalu menjadi pantas. Mereka yang melacurkan keilmuannya, jelas bukan manusia, karena manusia sejatinya mencintai ilmu, sehingga setiap prilakunya yang mewujud tentu saja cinta, keikhlasan, ketulusan yang tidak buta.
Dulu, dulu sekali, saat masih zaman antah berantah, ketika semakin orang banyak belajar, semakin dirinya bertumbuh ibarat pohon-pohon yang dengan buahnya senantiasa memberi manfaat dan manisnya begitu dirasakan masyarakat. Pohon itu tetap subur dan buahnya pun tak pernah habis dan itulah pohon ilmu pengetahuan hasil dari cara-cara yang tidak instan.Â
Buahnya tentu saja prilaku yang terpuji dan mulia, banyak ide dan gagasan yang kemudian dibicarakan dan dikembangkannya menjadi serentetan buah budaya, kearifan, dan tradisi yang membumi. Lalu, bagaimana sekarang? Anda lebih pandai menyusun jawaban, menguntainya dengan kalimat-kalimat sumpah serapah, tergantung kepada siapa jawaban itu anda maksudkan.
Ada benarnya salah seorang pengamat politik LIPI, Lili Romli menyatakan dengan lugas, dimana politik saling serang dengan cara memobilisasi isu tertentu adalah cara paling instan untuk meningkatkan elektoral. Mendongkrak elektabilitas di era saat ini tak ubahnya menyuguhkan kualitas demokrasi cepat saji, yang penting urusan proseduralnya tak melanggar.Â
Anda mungkin terbiasa menyaksikan, bagaimana elektabilitas dapat terdongkrak dengan cara-cara menggelikan seperti ini. Politik saling serang dan mobilisasi atas isu-isu politik tertentu demi sebuah elektabilitas, justru teramat sangat digemari belakangan ini.
Pidato seorang pemimpin politik seringkali menuai kecaman dan kritik, bahkan tak jarang dihubung-hubungkan dengan isu politik masa lalu yang tak ada kaitannya sama sekali.Â