Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Al-Fatihah Berkumandang di Pembukaan MTQ Nasional Medan

9 Oktober 2018   16:13 Diperbarui: 9 Oktober 2018   17:03 3088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo membuka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XXVII tahun 2018 di Arena Utama, Kota Medan, Minggu (7/10/2018). (Tribunnews.com/ Seno Tri Sulistiyono)

Pembukaan MTQ Nasional 2018 di Medan menjadi semakin menarik ketika dibuka oleh Presiden Jokowi. Pasalnya, Jokowi mengajak seluruh peserta yang hadir untuk mengumandangkan surat al-Fatihah yang diucapkan dengan logat Jawa "Alfatekah" bagi mereka yang terdampak gempa di Sulawesi. 

Sebutan "Alfatekah" tentu saja kurang pas karena tidak menunjukkan sisi kefasihan lidah dalam melafalkan bahasa arab dan hal ini tentu saja menjadi perbincangan publik. Lalu, adakah kaitannya antara kefasihan dengan tingkat keislaman seseorang atau menjadi prasyarat diterimanya sebuah doa oleh Tuhan?

Fasih dalam melafalkan bahasa Arab memang penting bagi setiap muslim, walaupun kefasihan bukanlah ukuran dari kesalehan seseorang. Bukankah ukuran manusia terbaik dihadapan Tuhan bukan soal fasihnya berbahasa arab tapi karena ketakwaannya? 

Takwa tentu saja berimplikasi luas yang lebih menunjukkan kualitas kesalehan seseorang dilihat dari sisi kreativitasnya dalam melakukan hal-hal kebaikan yang bermanfaat.

Oleh karena itu, dalam berdoa pun, fasih bukanlah menjadi prasyarat diterima atau tidaknya sebuah doa. Salah satu syarat terpenting dalam hal diterimanya doa seseorang adalah hadirnya hati (hudlur al-qalbi) dan terbangunnya "ikatan" antara dirinya dengan Tuhan (at-Tawasul Lillahi).

Saya berprasangka baik terhadap Jokowi yang mengajak peserta di Pembukaan MTQ Nasional untuk berdoa kepada korban bencana Palu dan Donggala dengan membacakan surat al-Fatihah. 

Salah satu surat dalam al-Quran ini memang teristimewa, karena selain menempati urutan surat pertama, surat al-Fatihah merupakan satu-satunya surat yang wajib dibaca di setiap salat.

Keistimewaan "ummul kitab" (induk kitab suci) sudah dibeberkan panjang lebar oleh banyak ahli tafsir, bahkan mungkin masih banyak rahasia-rahasia didalamnya yang tak sempat diungkap manusia.

Salah satu pemikir besar muslim, Ibnu Qayyim al-Jauziyah (1292-1350) pernah memberikan pengantar ketika akan menulis tentang surat al-Fatihah. Menurutnya, Tuhan telah menurunkan ratusan kitab kepada umat manusia yang kemudian terangkum dalam empat kitab suci yang dikenal, yaitu Zabur, Taurat, Injil dan al-Quran.

Seluruh makna dan isi tiga kitab suci diantaranya, terangkum secara sempurna dalam al-Quran. Seluruh ayat-ayat al-Quran terpisah-pisah dan diperinci dalam berbagai surat dan seluruh rincian yang tersebar tersebut terangkum hanya dalam satu surat, yaitu al-Fatihah.

Bahkan, ia lebih mempersempit lagi bahwa pemaknaan al-Fatihah hanya terangkum dalam ayat ke 4: "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" (hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan).

Begitu istimewanya surat al-Fatihah ini yang kemudian setelah acara pembukaan MTQ Nasional, justru menjadi semakin hangat diperbincangkan publik. 

Persoalannya, bukan pada hal pembacaannya, tetapi pada sosok yang mengajak membacanya, Jokowi, yang di masa kampanye Pilpres ini selalu menjadi perhatian publik. 

Jokowi mungkin bukan kali ini saja kurang fasih dalam melafalkan bahasa Arab, karena memang intonasi bahasa yang kerap dilafalkan orang Jawa memang demikian. 

Tak beda dengan orang Mesir yang melafalkan "jamal" menjadi "gamal" atau ketika orang Bangladesh mengucapkan "bukroh" menjadi "bukrah". 

Kebiasaan lidah dalam mengolah bahasa, memang seringkali sulit dalam melafalkan bahasa lain secara fasih, walaupun inti dari bahasa bagaimana komunikasi itu "nyambung", bukan soal fasih atau tidaknya.

Hal ini juga dijelaskan secara tidak langsung, ketika Nabi Muhammad membedakan orang Arab dan orang ‘Ajam. Yang disebut pertama lebih kepada pertimbangan kefasihan dalam berbahasa—khususnya bahasa arab—dan yang disebut kedua adalah mereka yang bisa berbahasa arab, namun bukan asli orang Arab. 

Tak ada keistimewaan antara Arab dan ‘Ajamiy, bahkan Nabi melanjutkan tak ada juga perbedaan soal ras dan warna kulit, karena semua manusia sama kedudukannya dihadapan Tuhan dan hanya ketakwaan seseorang yang memiliki nilai di mata Tuhan.

Perlu juga dipahami, bahwa yang diperintahkan Tuhan kepada manusia adalah berlomba-lomba dalam hal kebaikan dan ketakwaan, bukan dalam kefasihan atau kepintaran. 

Jadi, daripada kita membincangkan sesuatu hal yang jelas itu bukan menambah kebaikan, tetapi malah menambah keburukan, lebih baik berlomba-lomba membuat kebaikan sebanyak-banyaknya yang selaras dengan apa yang diinginkan Tuhan kepada seluruh manusia. 

“Takwa itu di sini”, begitu ungkap Nabi Muhammad sambil menepuk dadanya 3 kali. Itu artinya, ketakwaan berada pada relung hati yang paling dalam dibalut ketulusan, kejujuran, dan kepasrahan.

Sehingga inilah yang sesungguhnya menjadi prasyarat al-Fatihah itu “diterima” sebagai ungkapan doa yang langsung tersambung keharibaan Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun