Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Islam dan Politik (Tanpa) Identitas di Pilpres 2019

27 September 2018   16:06 Diperbarui: 27 September 2018   16:27 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai suatu tambahan kekuatan politik bagi Jokowi-Ma'ruf, dukungan Yenny dan Gusdurian tentu saja tidak serta merta menjadi tambahan suara dalam kemenangan ajang kontestasi.

Memilih, pada akhirnya tetap saja bersifat privat yang sulit diprediksi kecuali setelah selesai dilakukan di bilik-bilik suara saat pemilu berlangsung nanti. Namun paling tidak, dukungan resmi ini akan memperkuat posisi para pemilih yang sebelumnya gamang, terutama mereka yang masih meyakini mendiang Gus Dur sebagai tokoh kharismatis, cucu Hadratussyekh Hasyim Asy'ari yang begitu dihormati. Ikatan kultural diantara mereka cukup kuat dan solid, sehingga hampir tak mengenal politik identitas, kecuali ikatan kultur yang terbangun secara tradisional.

Menarik sesungguhnya ketika menghadapkan realitas politik kekinian dengan pemahaman religiusitas masyarakat pemilih yang berdampak langsung pada cara pandang mereka terhadap situasi politik, ekonomi, maupun sosial. Realitasnya, seringkali kita dihadapkan pada dua sisi yang benar-benar dikotomis: kebebasan dan pengekangan, liberalisme dan konservatisme, agama dan sekularisme, kesalehan dan kejahatan, dan lain sebagainya. Dualisme dalam kenyataan sosial seringkali memaksa kita untuk memilih salah satu diantaranya, suka atau tidak suka. Politik identitas dalam hal ini muncul sebagai efek dari dualisme dikotomis, mengidentifikasi mereka sebagai kelompok tertentu secara "ekstrim", menganggap kelompok lainnya secara hitam-putih sehingga wajar jika kemudian lahir sikap intoleransi yang berlebihan.

Wujud narasi politik identitas yang memiliki kesan ekstrem---karena menolak segala upaya yang berbeda dengan kelompok atau afiliasinya---terlebih dengan menidentifikasi mereka dengan berbagai gerakan Islam tertentu dan menghantam kelompok muslim lainnya yang sejauh ini moderat, jelas akan mendapatkan perlawanan yang sangat kuat. Saya tidak melihat hal ini sebagai upaya memperlebar konflik antarumat, tetapi sebagai bagian dari dinamika politik muslim ditengah arus "hibridasi kultural" yang kian mengglobal. Konsep "hibridasi kultural" ini dimaknai sebagai sebuah bentuk percampuran budaya, tradisi, nilai, dan prinsip yang dipegang oleh masyarakat akibat proses interaksi intensif antara seseorang dan sekelompok orang dengan konteks dan tradisi yang ada di sekitarnya. Seseoarng dapat bersikap akomodatif terhadap nilai-nilai baru dan tidak menjadi "kagetan", atau bisa menolaknya dan menganggap sebagai suatu bahaya "laten".

Bagi saya, Islam yang diangkat oleh Gus Dur dengan mengedepankan nilai-nilai substansinya yang humanistik dan pluralistik, justru akomodatif terhadap berbagai dinamika perubahan sosial yang ada. Pluralisme yang diperkenalkan Gus Dur melalui nilai-nilai ajaran Islam tampak universal dan mampu diterima secara baik oleh berbagai pihak. Islam dalam hal ini, memiliki muatan-muatan politik namun tanpa "identitas", karena nilai-nilai ajaran Islam yang dikandungnya secara universal mampu "membumi" dan mempengaruhi beragam kehidupan sosial. Islam tak dimunculkan dalam narasi politik kekuasaan secara gamblang, namun bersifat menginspirasi dan mengisi setiap sisi kehidupan masyarakat.

Itulah sebabnya, Yenny Wahid sebagai penerima tongkat estafet ajaran dan nilai pluralisme yang sebelumnya ditangan ayahandanya, Gus Dur, berkewajiban melanjutkannya dan terus menularkannya kepada generasi-generasi muda muslim setelahnya. Pokok nilai-nilai ajaran pluralisme jelas menafikan keunggulan politik identitas, seraya menyuarakan nilai-nilai politik kebersamaan, persatuan, keragaman dalam bingkai kebangsaan yang universal. Itulah barangkali, dukungan Yenny dilabuhkan kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019 mendatang, karena pasangan ini benar-benar cermin dari figur yang dapat diterima semua pihak, lintas agama, profesi, tradisi, bahkan budaya. Kesemuanya justru ada dalam nilai-nilai pluralisme yang sejauh ini melekat dalam ajaran Islam, tanpa "politik identitas" apapun didalamnya, kecuali "rahmatan lil 'alamin".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun