Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mengurai Arah Dukungan Suara Muslim di Pilpres 2019

25 September 2018   20:45 Diperbarui: 25 September 2018   20:48 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penting rasanya untuk melihat lebih jauh, kemana dukungan pemilih muslim di Pilpres 2019 mendatang. Jika melihat pada dua pasangan kandidat yang ada, tarik-menarik dalam memperoleh dukungan suara mayoritas muslim tampaknya kian terasa. Bagi saya, pilihan Jokowi yang memberikan tempat terhormat kepada KH Ma'ruf Amin sebagai pendampingnya merupakan taktik agar suara mayoritas muslim mau memilihnya. 

Di lain pihak, rivalnya Prabowo juga tak jauh berbeda, para simpatisannya tentu saja mengidentifikasikan dirinya sebagai pemilih muslim bahkan mengklaim didukung para ulama. Bahkan, dukungan suara kalangan Islam ini sudah jauh-jauh hari dideklarasikan kubu Prabowo melalui beragam artikulasi politik.

Tak bisa dipungkiri, muslim di Indonesia adalah mayoritas, sehingga bagaimanapun pemanfaatan suara pemilih muslim akan menjadi fokus utama bagi masing-masing kandidat. Saya mengidentifikasi pemilih muslim berdasarkan keyakinan dan agama mereka, bukan dari ketaatan personal yang berbeda dalam diri setiap pribadi muslim. "Ketaaatan" merupakan wilayah "privat" yang sulit diidentifikasi, terlebih hanya sekadar mencontreng beberapa ukuran yang seringkali dilakukan berbagai lembaga survei dalam membuat suatu asumsi umum. Pemilih muslim berarti mereka yang mampu lebih mudah mengidentifikasi siapa calon pemimpinnya, berdasarkan kesamaan latar belakang agama dan keyakinan mereka.

Memilih sangat lekat dengan kesamaan latar belakang keyakinan, walaupun bukan merupakan faktor dominan. Mengabaikan soal keyakinan atau agama dalam konteks pilihan politik, sudah pasti sulit memenangkan suatu kontestasi, terlebih dalam hal Pilpres. 

Tak mungkin rasanya Jokowi menggaet KH Ma'ruf Amin yang sedemikian kental latar belakang keislamanannya, jika tak bermaksud meraup sebanyak-banyaknya pemilih dari kalangan Islam. Pun, Prabowo yang memilih Sandiaga sebagai sosok pribadi yang saleh, bahkan para simpatisannya begitu yakin bahwa Sandi merupakan figur "ulama" merupakan taktik dalam meraup suara pemilih muslim. Semua itu semata-mata demi menggaet pemilih muslim yang memang menempati posisi mayoritas di negeri ini.

Sejauh ini, arah dukungan pemilih muslim nampaknya masih mungkin diidentifikasi melalui tiga kategorisasi: muslim tradisional, muslim moderat, dan muslim milenial. Kategori pertama merupakan pemilih muslim yang secara tradisi cenderung mempercayai atau mengikuti kemana arah dukungan para kiai atau ulamanya. 

Umumnya, mereka merupakan pemilih mayoritas karena memang hidup secara rural jauh dari pusat perkotaan sehingga dipastikan minim soal informasi atau isu-isu politik kekinian. Jika ulamanya mendukung salah satu kandidat, para pemilih tradisional akan cenderung mengikuti arah dukungan mereka.

Kategori kedua, barangkali lebih dekat kepada mereka yang dengan mudah mengakses beragam informasi dan isu-isu politik bahkan berpartisipasi aktif dalam beragam kegiatan politik. 

Umumnya mereka berada di pusat-pusat perkotaan, berpendidikan, dan lumayan paham soal seluk-beluk  kepolitikan. Pemilih muslim moderat mungkin saja masuk didalamnya mereka yang apatis secara politik, dimana siapapun yang menjadi pemimpin pada akhirnya tak akan mengubah secara signifikan kondisi negerinya. Kecuali soal keyakinan atau agama yang melatar belakangi mereka, sekadar bentuk simpatik kepada figur yang kemudian mereka pilih sesuai keyakinan mereka.

Yang terakhir barangkali, mereka yang terpapar pengetahuan Islam karena lingkungan sosial, baik di sekolah, kampus, atau organisasi yang mereka ikuti. Kategori ini relatif labil sebetulnya, walaupun semangat keagamaan mereka terkadang cukup tinggi, meski tak didukung pengetahuan politik dengan baik. Semangat semacam ini akan mudah sekali diarahkan melalui beragam atribusi politik keislaman atau artikulasi keagamaan yang akan menggugah semangat keagamaan mereka.

Para pemilih Islam tradisional yang memang mayoritas, inilah yang acap kali diperebutkan para kandidat Pilpres melalui "pendekatan personal" figur-figur yang berpengaruh didalamnya. Barangkali, keuntungan terbesar Jokowi dengan menggaet Ma'ruf Amin, tentu saja agar lebih mudah melakukan pendekatan secara personal kepada kiai-kiai kampung yang nota bene memiliki ikatan kultural-keagamaan. 

Figur Ma'ruf Amin sebagai pucuk pimpinan NU tentu saja sangat berdampak bagi pemilih muslim yang mengidentifikasikan dirinya dengan NU. Tradisi NU yang sangat menghormati ulama mungkin saja akan memilih figur ulama, terlebih jika didorong oleh dukungan terbuka para ulama lokal yang menjadi panutan mereka.

Disisi lain, kalangan muslim moderat---yang dimaksud bukan moderat secara pemikiran, tetapi moderat dalam hal memilih---akan menjadi rebutan dua kandidat. Kalangan Islam moderat justru akan lebih mempertimbangkan banyak alasan---tak sekadar alasan agama atau keulamaan---tetapi lebih melihat soal efek program kerja yang akan digulirkan para kandidat. 

Pemilih dalam kategori muslim moderat tentu saja lebih cerdas, mengingat latar belakang pendidikan mereka yang beragam dan akses terhadap informasi yang begitu mudah dan luas. Tak berlebihan kiranya, kunjungan kubu Jokowi maupun Prabowo ke kediaman Yenny Wahid paling tidak dalam rangka menjajaki seberapa kuat pemilih moderat mau mendukung mereka. Putri Sulung Gus Dur ini, saya kira, dianggap sebagai ikon muslim moderat yang juga mendapat simpati banyak pihak.

Untuk kalangan muslim milenial yang tergolong pemilih pemula atau pemilih muda, barangkali telah banyak terpapar beragam informasi politik yang kurang berimbang. Paling tidak, gaya hidup mereka yang tak jauh dari pembacaan serangkaian informasi hasil olahan medsos sebagai akses utamanya, akan mudah membuat kalangan ini terbelah atau bahkan enggan memilih karena tak ada kandidat yang pas dalam pandangan mereka. 

Saya kira, jika memang alasan untuk golput itu harus ada, maka kelompok muslim milenial nampaknya lebih mudah mewujudkannya. Saya tidak mengetahui secara pasti berapa banyak jumlah pemilih milenial yang pada akhirnya melabuhkan dukungannya kepada dua kandidat, mana yang lebih kuat.

Anda boleh setuju atau tidak dengan upaya kategorisasi semacam ini, namun yang pasti kedua kandidat di Pilpres 2019 memang sedang memainkan taktik bagaimana meraup pemilih dari kalangan muslim. Ada yang menyebut, kubu Jokowi tampak condong ke "Kanan", karena keberadaan Ma'ruf Amin yang bakal memikat lebih banyak pemilih muslim. Jika kubu Prabowo tampak lebih "Tengah" dengan membawa suara sebagian muslim dan sebagian nasionalis, saya justru sulit menentukan pilihan dan mungkin juga anda. 

Akhirnya saya berharap, Pilpres nanti seperti biasanya berjalam damai dan tertib, siapapun pemenangnya tak jadi soal, selama para pemimpin terpilih menyadari betapa amanah dan tanggung jawab yang dipikulkan oleh rakyat ke pundak mereka bukan sekadar permainan, seperti yang belakangan ini marak terjadi. Salam sruput!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun