Dalam tradisi politik kekinian, istilah santri dan ulama justru semakin mencuat menjadi atribusi sangat penting dalam sebuah produk politik. Uniknya, labelisasi "santri" bisa meningkat levelnya demi pemenuhan kebutuhan dan nafsu politik kekuasaan menjadi "ulama".
Bahkan, sebagai penguat legitimasi, tak jarang mereka yang berkepentingan harus "memperkosa" dalil-dalil keagamaan agar cocok dengan produk politik yang akan mereka lemparkan ke pasaran. Melegitimasi produk politik melalui dalil-dalil keagamaan, merupakan bukti nyata betapa agama menjadi alat penting dalam setiap promosi politik apapun dan tentu saja "dihalalkan".
Bagi saya, kedua kubu---baik Jokowi maupun Prabowo---sedang berupaya memainkan beragam trik politik melalui atribusi keagamaan. Pilihan Jokowi kepada Ma'ruf Amin tak mungkin lepas dari atribusi keulamaan yang melekat pada sang cawapresnya, sehingga bisa menjadi produk politik menjual ditengah para konsumen politik yang gandrung gemerlap simbolik.
Namun yang menggelikan, ketika kubu Prabowo yang terus menerus "memaksa" Sandiaga Uno sang cawapres Prabowo mengikuti ritme politik simbolik, menyemai gelar-gelar keagamaan menjadi semacam permainan.Â
Gelar "santri pos-Islamisme" yang sempat dilekatkan kepada Sandi dirasa kurang menjual sehingga perlu dikatrol dengan menyandang gelar "ulama", walaupun tanpa sarung dan sorban sebagaimana kubu lawan politiknya.
Tanpa sadar, kita dihadapkan pada kondisi yang semakin hari semakin merendahkan entitas agama ketika dipaksa memasuki gelanggang politik. Agama sekedar "jualan" yang mengharu biru bahkan jatuh ke titik nadirnya diinjak-injak kepongahan ambisi kekuasaan.Â
Agama sekadar entitas simbolik bahkan atribusi yang sengaja diperjual-belikan demi kepentingan sesaat sebagai pemenuh hasrat politik yang membuncah.
Bahkan, Islam sebagai agama mayoritas seperti dipermalukan sekadar kendaraan politik guna mencapai tujuan kekuasaan, hilang kesakralannya karena sejajar dengan nafsu kekuasaan.Â
Sejak dari sebelum perhelatan pilpres dimulai, atribusi keagamaan marak diperdagangkan, bahkan klaim santri atau ulama justru mendominasi dalam gelanggang politik kekuasaan.
Anehnya, hasrat kekuasaan politik yang meninggi seakan melupakan urusan-urusan sosial yang berdampak kemaslahatan umat berganti dengan kebencian dan emosi yang terus-menerus dipupuk bahkan dipelihara. Tak pernah ada istilah bahwa politik itu menyatukan, tetapi sukses memporak-porandakan dan membelah bangunan keadaban, budaya, tradisi, bahkan agama sampai pada titik nadirnya.
Lebih mengerikan lagi, ketika atribusi "santri" atau "ulama" kemudian memasuki gelanggang politik yang penuh kebohongan dan keculasan, sehingga wajar jika ada yang beranggapan inilah bentuk "maksiat politik" ketika agama justru diperjualbelikan untuk urusan keduniaan terlebih agama "dilegitimasi" demi pemenuhan bisnis produk-produk politik.