Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Setelah "Santri" dan "Ulama" Menjadi Produk Politik

18 September 2018   11:22 Diperbarui: 19 September 2018   08:28 2168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://stephenmansfield.tv

Belakangan, sulit untuk tidak mengatakan bahwa politik sangat kental dengan nuansa simbolik keagamaan baik itu narasi, gelar, atau atribusi yang bahkan serasa dipaksakan. 

Narasi politik-keagamaan seakan menjadi menu wajib dalam setiap perhelatan pemilu karena itulah satu-satunya daya tarik bahkan daya tawar yang paling menjanjikan.

Siapa saja yang menjadi kontestan politik, penting menyematkan atribusi keagamaan, entah sebagai santri walaupun tanpa sarung atau ulama sekalipun tak pernah mengenal sorban. 

Atribusi "santri" atau "ulama" seakan menjadi label halal pada makanan, dimana konsumen pada segmentasi tertentu pasti akan memilih label ini, tak peduli urusan labelisasi ini sebenarnya murni urusan bisnis, tidak sepenuhnya ketaatan pada agama.

Kebanyakan---atau paling tidak sebagian besar---konsumen politik kita adalah mereka yang meyakini bahwa agama atau keyakinan sangat berpengaruh besar dalam hal penentuan pilihan politik. 

Ketika para kandidat sebagai "produk politik" dilempar ke publik, maka mereka harus mewakili atau paling tidak memiliki kedekatan keagamaan atau keyakinan dalam masyarakat.

Itulah kenapa, ajang pilpres yang menjadi perhelatan politik nasional, kental nuansa atribusi keagamaannya. Tak bisa dipungkiri, bahwa cawapres Jokowi yang dianggap mewakili "ulama" juga mengukur peluang pasar para konsumen politiknya. Ma'ruf Amin justru semakin dipoles keulamaannya---terutama dari sisi labelisasi dan atribusi---agar terkesan moncer bagi sebuah produk politik yang akan diluncurkan.

Menariknya, di kubu lawan politik, pasangan Prabowo-Sandi yang belum terendus oleh pasar soal labelisasi kesantrian dan keulamaannya---karena kedua pasangan ini dari dulu dikenal pebisnis---lalu demi kepentingan pasar, memoles produk politiknya dengan atribusi keagamaan. Cawapres Prabowo, Sandiaga Uno justru sukses menjadi produk politik dengan labelisasi santri dan ulama sekaligus.

Setelah sebelumnya para pendukung mereka menyematkan atribut santri posmo pada Sandi, kini lebih ditingkatkan derajatnya dengan memperoleh predikat "ulama". Sandi paling tidak merupakan karya nyata produk politik yang harus mampu membaca keinginan konsumen di pasar politik keagamaan.

Bagi saya, pelabelan "santri" atau "ulama" yang keduanya lekat dengan dunia pesantren justru seringkali membuat malu mereka yang mendadak dilabeli oleh masyarakat. Malah banyak di antara para santri jebolan pesantren justru menyembunyikan identitas kesantrian mereka, terlebih para ulama yang takut dengan imbas keulamaannya jika pada kenyataannya mereka gagal mengemban misi para nabi sebagai pribadi paripurna yang berakhlak mulia.

Kecuali mereka yang tinggal dan mengabdikan dirinya di pesantren, label santri, kiai, atau ulama tetap abadi disandang lengkap dengan atribusi sarung dan sorbannya. Diluar itu, hampir kebanyakan identitas mereka sengaja tak diungkap ke publik, mengingat mereka tak lagi berada di pesantren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun