Dalam banyak hal, keputusan Ijtimak Ulama II yang memberikan dukungan penuh kepada pasangan Prabowo-Sandi tentu saja menguntungkan. Tak hanya bagi pasangan capres-cawapres yang diusungnya, namun juga bagi suara umat Islam yang tersegmentasi kepada pendukung GNPF ulama. Prabowo jelas mendapatkan suplemen politik signifikan dari suara-suara kalangan Islam yang kecewa terhadap pemerintahan Jokowi.
Mereka yang sejauh ini menggaungkan #2019GantiPresiden---paling tidak---telah "terkunci" suaranya untuk mendukung penuh pencalonan Prabowo dalam kontestasi politik tahun depan.
Umumnya, suara kelompok Islam yang kecewa terhadap pemerintahan Jokowi, akan setia mengikuti fatwa ulama terlebih sudah ada kesepakatan dan pakta integritas yang ditandatangani kontestan politik.
Dukungan kelompok apapun terhadap suatu kontestan politik, hendaklah tak dianggap remeh, terlebih mereka merupakan kalangan Islam yang pernah menggemparkan Jakarta. Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan 212, tentu saja pernah mendulang sukses mengantarkan Anies-Sandi menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.Â
Gerakan politik mereka sempat dianggap remeh dan diabaikan beberapa pihak, walaupun pada kenyataannya sanggup berpengaruh meraup kemenangan kontestan politik yang diusungnya. Mereka saat ini, jelas berambisi untuk mengulang kemenangannya di Pilpres, setelah mereka sukses mendulang kemenangan di Pilgub Jakarta.
Saya kira, mereka sukses menggalang dukungan kalangan Islam yang selama ini kecewa dengan Jokowi, akibat berbagai tekanan politik yang diberlakukan kepada para ulama mereka.
Ijtimak Ulama bagi saya, memiliki efek politik yang cukup signifikan, terutama ditengah euforia pilpres 2019 yang memperhadapkan dua kubu yang saling bertentangan. Hampir tak ada deklarasi dari kalangan Islam, kecuali dukungan kepada pasangan Prabowo-Sandi.
Di luar itu, dukungan kalangan Islam kepada Jokowi tak tampak signifikansinya, kecuali keberadaan figur cawapresnya yang direkrut dari tokoh NU sebagai representasi kalangan Islam yang tak sepenuhnya secara politik memberikan dukungan.
Bagi saya, kekecewaan sebagian besar kiai NU juga tampak---meskipun tak diumbar ke publik---akibat kiai sepuh-nya yang rela berkutat dalam soal kekuasaan. Kharismatik seorang ulama justru pudar, ketika ia justru rela menceburkan diri dalam dunia politik yang "kotor".
Tidak menutup kemungkinan, beberapa ulama NU yang juga kecewa dengan majunya Kiai Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi, akan mengalihkan dukungannya kepada pasangan Prabowo-Sandi pada pilpres mendatang. Walaupun, dalam hal pilihan politik, tentu saja banyak latar belakang yang mampu mempengaruhi setiap orang, karena setiap kekecewaan terhadap kontestan, mungkin saja  besar berpengaruh terhadap pilihan politik.Â
Namun paling tidak, penandatangan pakta integritas antara para ulama kalangan Islam dengan Prabowo, memiliki andil besar dalam hal penambahan kekuatan politik. Prabowo memiliki tambahan amunisi politik untuk mempermudah aksesnya dalam kemenangan suatu ajang kontestasi.
Saya kira, kesepakatan ulama yang tertuang dalam Ijtimak akan mendorong pencairan suasana politik diantara para ulama lainnya yang selama ini kadang tampak berseberangan. Ketika komunikasi antarulama terus dibangun dalam rangka menggalang dukungan salah satu kandidat politik, maka mereka akan menjadi semacam "people power" yang sulit dibendung.
Pilpres 2019 mendatang akan semakin menarik, jika berbagai macam simpul kekuatan politik yang ada sebagai representasi suara dukungan masyarakat, terus bersinergi secara positif tak sekedar dukung-mendukung kandidat, tetapi mencari solusi bersama demi tercapainya kebaikan publik.
Mendiskreditkan kelompok tertentu atau bahkan menganggap remeh keberadaannya, bisa menimbulkan kesan kekerdilan dalam cara pandang kepolitikan. Bahkan, mungkin saja sebagai bentuk rasa takut yang mengabaikan beragam kekuatan lawan politiknya.Â
Harus diakui, cara yang dijalankan para ulama yang tergabung dalam wadah GNPF ini bisa menjadi semacam "shock therapy" dalam pemanasan pilpres. Mereka tentu saja tak mungkin masuk dalam simpul-simpul resmi kekuasaan karena telah dikuasai dan "dikunci" incumbent, kecuali membuat kesepakatan-kesepakatan "tak resmi" sebagai bagian perlawanan politik mereka di luar kekuasaan.
Saya kira, sejauh itu merupakan cara-cara demokratis dan bermartabat dalam rangka menciptakan keseimbangan politik, maka Ijtimak Ulama adalah corong politik yang begitu penting dalam membangun kekuatan penyeimbang yang sejauh ini seringkali dikooptasi para penguasa.
Ketika para penguasa dengan mudahnya memanfaatkan akses-akses resmi kekuasaan untuk membesarkan volume corong politiknya dan di sisi lain, volume politik pihak lawan "dipaksa" diturunkan, maka Ijtimak Ulama memiliki signifikansi besar dalam melawan kesewenang-wenangan.
Jika kekuatan politik para ulama ini tetap solid berada diluar kekuasaan, maka tak menutup kemungkinan suara pemilih akan dilabuhkan pada kandidat yang diusung mereka.
Bagi saya, membangun keseimbangan politik itu sangat penting, terlebih di alam demokrasi seperti saat belakangan ini. Demokrasi harus dibangun melalui kultur ekuilibrium politik, tak boleh ada satu kelompok mendominasi kelompok lainnya karena secara kebetulan kelompok tertentu mendapatkan kemudahan akses-akses terhadap kekuasaan.
Ijtimak Ulama atau narasi politik apapun yang secara langsung vis a vis penguasa, harus dipahami sebagai bagian dari cara-cara demokratis, sehingga tumbuh keseimbangan sosial-politik yang berdampak langsung bagi kelangsungan kehidupan masyarakat.Â
Sekali lagi, jangan pernah meremehkan apalagi mencibir suatu upaya penggalangan kekuatan politik yang kontra kekuasaan, karena hal itu sama halnya dengan penjegalan terhadap tumbuh suburnya iklim demokratisasi di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H