Saya kira, kesepakatan ulama yang tertuang dalam Ijtimak akan mendorong pencairan suasana politik diantara para ulama lainnya yang selama ini kadang tampak berseberangan. Ketika komunikasi antarulama terus dibangun dalam rangka menggalang dukungan salah satu kandidat politik, maka mereka akan menjadi semacam "people power" yang sulit dibendung.
Pilpres 2019 mendatang akan semakin menarik, jika berbagai macam simpul kekuatan politik yang ada sebagai representasi suara dukungan masyarakat, terus bersinergi secara positif tak sekedar dukung-mendukung kandidat, tetapi mencari solusi bersama demi tercapainya kebaikan publik.
Mendiskreditkan kelompok tertentu atau bahkan menganggap remeh keberadaannya, bisa menimbulkan kesan kekerdilan dalam cara pandang kepolitikan. Bahkan, mungkin saja sebagai bentuk rasa takut yang mengabaikan beragam kekuatan lawan politiknya.Â
Harus diakui, cara yang dijalankan para ulama yang tergabung dalam wadah GNPF ini bisa menjadi semacam "shock therapy" dalam pemanasan pilpres. Mereka tentu saja tak mungkin masuk dalam simpul-simpul resmi kekuasaan karena telah dikuasai dan "dikunci" incumbent, kecuali membuat kesepakatan-kesepakatan "tak resmi" sebagai bagian perlawanan politik mereka di luar kekuasaan.
Saya kira, sejauh itu merupakan cara-cara demokratis dan bermartabat dalam rangka menciptakan keseimbangan politik, maka Ijtimak Ulama adalah corong politik yang begitu penting dalam membangun kekuatan penyeimbang yang sejauh ini seringkali dikooptasi para penguasa.
Ketika para penguasa dengan mudahnya memanfaatkan akses-akses resmi kekuasaan untuk membesarkan volume corong politiknya dan di sisi lain, volume politik pihak lawan "dipaksa" diturunkan, maka Ijtimak Ulama memiliki signifikansi besar dalam melawan kesewenang-wenangan.
Jika kekuatan politik para ulama ini tetap solid berada diluar kekuasaan, maka tak menutup kemungkinan suara pemilih akan dilabuhkan pada kandidat yang diusung mereka.
Bagi saya, membangun keseimbangan politik itu sangat penting, terlebih di alam demokrasi seperti saat belakangan ini. Demokrasi harus dibangun melalui kultur ekuilibrium politik, tak boleh ada satu kelompok mendominasi kelompok lainnya karena secara kebetulan kelompok tertentu mendapatkan kemudahan akses-akses terhadap kekuasaan.
Ijtimak Ulama atau narasi politik apapun yang secara langsung vis a vis penguasa, harus dipahami sebagai bagian dari cara-cara demokratis, sehingga tumbuh keseimbangan sosial-politik yang berdampak langsung bagi kelangsungan kehidupan masyarakat.Â
Sekali lagi, jangan pernah meremehkan apalagi mencibir suatu upaya penggalangan kekuatan politik yang kontra kekuasaan, karena hal itu sama halnya dengan penjegalan terhadap tumbuh suburnya iklim demokratisasi di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H