Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Langkah Jitu TGB Mundur dari Demokrat

24 Juli 2018   13:05 Diperbarui: 24 Juli 2018   13:36 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Parpol hanyalah sekadar kendaraan yang mengantarkan seseorang menuju kursi kekuasaan. Bahkan, setiap parpol selalu menyediakan kendaraan bagi siapapun yang mau "berbagi" jasa politik. Tak heran, jika banyak orang yang berganti kendaraan politik, atau mungkin tak mau menggunakannya sama sekali.

Ketika parpol sekadar dimanfaatkan sebagai "kendaraan" oleh mereka yang memiliki hasrat kekuasaan, wajar jika parpol bukanlah penentu utama dalam hal kekuasaan politik. Seseorang yang sudah memiliki modal politik cukup,  tidak saja menjadi incaran parpol untuk dirangkul jelang ajang kontestasi, tetapi juga mempunyai efek elektabilitas yang tinggi di tengah masyarakat.

Fenomena parpol sebatas "kendaraan politik", diterjemahkan secara nyata oleh TGB Zainul Majdi. Mundurnya anggota Majelis Tinggi Demokrat ini dari partai yang mengantarkannya menjadi gubernur NTB, bukanlah hal yang mengejutkan. Justru, ini merupakan pukulan telak bagi Demokrat yang tak mendukung TGB untuk maju menjadi cawapres Jokowi.

Melihat dari peta politik yang ada, peluang Demokrat untuk tetap berada dalam lingkaran kekuasaan setelah SBY tak lagi menjabat presiden sangatlah besar. Jasa politik Demokrat tentu akan mendapatkan apresiasi penuh, jika seandainya nanti TGB dipilih Jokowi mendampinginya di ajang Pilpres mendatang.

Bagi saya, TGB adalah aset yang sepi dari berbagai isu negatif selama dirinya berkarir di politik. Figur merakyat, humanis, dan agamis yang melekat dalam pribadinya, justru modal sosial dirinya paling penting. Mengabaikan TGB dalam ajang kompetisi, sama saja dengan membuang modal sosial-politik yang sepenuhnya dimiliki Demokrat. Siapa yang mempunyai sosok berpengalaman secara karir politik sekaligus keagamaan dalam level nasional selain TGB? Tak ada satupun figur di internal Demokrat yang memiliki kelengkapan secara politik dan agama, kecuali ada dalam diri TGB.

Keputusannya mundur dari Demokrat, justru menjadi peluang besar bagi TGB untuk memperkuat posisi tawarnya di hadapan Jokowi. Jika memang figur cawapres Jokowi harus dari kalangan Islam yang moderat, maka peluang besar hanya ada di TGB, bukan kandidat lainnya. Sulit untuk tidak menyatakan, bahwa Jokowi yang tadi malam mengumpulkan para ketum parpol di Istana Bogor, telah menyepakati satu nama yang akan menjadi pendamping dirinya di ajang Pilpres nanti.

Siapa nama itu? Asumsi saya, nama cawapres kemungkinan bukan dari unsur parpol, tetapi justru figur diluar parpol yang memiliki pengalaman politik dan tentu saja berasal dari kalangan Islam.

Saya meyakini, mundurnya TGB dari Demokrat, terkait langsung dengan keberadaan dirinya yang diduga kuat dipilih Jokowi sebagai kandidat cawapres di ajang kontestasi politik nasional 2019. Salah satu alasan kuat, kenapa Jokowi memilih TGB, kemungkinan pada sisi elektabilitasnya yang cukup kuat diterima seluruh kalangan Islam.

Elektabilitas Jokowi dengan sendirinya akan semakin menanjak, jika cawapres pilihannya benar-benar cermin dari kalangan muslim yang moderat. Sebaliknya, Jokowi malah bisa saja terpuruk karena salah dalam memilih kandidat pendamping, terlebih sekadar tokoh parpol yang kurang mendapat tempat di benak rakyat.

Seandainya Demokrat sejak awal terus mengawal TGB maju menjadi cawapres, banyak keuntungan yang akan diperoleh parpol besutan SBY ini. Selain akan memperoleh jabatan-jabatan strategis dalam kekuasaan, anak emas SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan semakin menanjak karir politiknya dan mungkin saja berpeluang menjadi capres atau cawapres di pemilu 5 tahun berikutnya. Saat ini, Demokrat kehilangan kesempatan yang besar dalam kekuasaan, kecuali mampu membentuk poros baru berkoalisi dengan parpol lainnya dengan kesempatan yang relatif lebih kecil.

Langkah SBY yang terus ngotot agar AHY masuk bursa cawapres, justru semakin kehilangan momen pentingnya dalam hal kekuasaan. Alih-alih mendapat dukungan parpol, Demokrat seperti berjalan sendiri menghadapi dilema Piplres 2019 ini. Setelah kehilangan kader potensialnya, SBY malah kelelahan dan jatuh sakit, karena terus dipaksa berjibaku dengan kenyataan politik yang sulit menempatkan AHY dalam skenario kandidat pencapresan. Padahal, jika mau bersabar sedikit, dengan majunya TGB menjadi pendamping Jokowi dan memenangkan kontestasi, AHY sudah pasti akan masuk dalam bursa menteri dan meniti karir kepolitikannya dalam lingkaran kekuasaan.

Hampir dipastikan, kekuatan terbesar parpol justru merapat mendukung Jokowi, hanya tersisa 4 parpol, Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Nama yang disebut terakhir pernah diisukan akan membuat poros baru, namun tampaknya semakin sulit jika melihat dinamika politik yang ada.

Demokrat sepertinya setengah hati jika harus bergabung dengan koalisi 3 parpol lainnya, kecuali dengan kerelaan hati, mau bergabung dengan koalisi parpol pendukung Jokowi. Jika Demokrat masih berharap kejayaan politiknya moncer seperti masa SBY, maka pilihan merapat ke kubu Jokowi adalah langkah positif yang paling rasional. Sulit rasanya, jika SBY mau berkoalisi dengan Prabowo, terlebih jika AHY tak mendapatkan posisi apapun didalamnya, sekadar sebagai kekuatan pendukung.

Saya rasa, AHY masih terlampau belia untuk berhadapan dengan para politisi kawakan lainnya dalam suatu ajang kontestasi politik nasional. Berbeda dengan TGB, yang sudah memiliki rekam jejak cukup baik di pemerintahan, sekaligus memiliki nilai plus sebagai ulama muda yang didukung kalangan akar rumput, terutama yang berasal dari luar Jawa. Belum saatnya AHY diperhitungkan sebagai "lawan kuat" dalam ajang kontestasi, kecuali sebagai figur yang "besar" karena mendompleng nama SBY. Bagaimanapun, tak berlebihan kiranya jika ada yang menyebut AHY sebagai "anak boncel", mengingat ia seperti baru lahir ke dunia politik, namun tiba-tiba ingin cepat menjadi "besar". 

Tepat sekali langkah yang diambil oleh TGB untuk mundur secara terhormat dari Demokrat, karena ia menjadi lebih bebas menyusun strategi politiknya jika benar ditunjuk sebagai kandidat cawapres Jokowi.

Pasangan Jokowi-TGB bagi saya, justru paling ideal karena cermin dari perpaduan ulama-umaro yang sejauh ini dipersepsikan sempurna secara kepemimpinan sebagaimana diharapkan kalangan umat Islam. Keberadaan TGB sebagai cawapres, tentu saja akan lebih mudah mencairkan suasana keumatan yang sejauh ini hampir porak-poranda karena perebutan kekuasaan. Tidak menutup kemungkinan, dukungan akan mengalir deras dari berbagai kalangan Islam sehingga membuka jalan kemenangan bagi pasangan baru, Jokowi-TGB. Mari kita doakan!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun