Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rekomendasi Capres 2019 dan Klaim Putusan para Ulama

20 Juli 2018   10:53 Diperbarui: 20 Juli 2018   15:43 2347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: 123 rf

Menyebut "ulama" rasa-rasanya untuk saat ini sulit mendefinisikannya secara tepat, terlebih ketika muncul fenomena klaim ulama yang masing-masing dikooptasi oleh kelompoknya sendiri-sendiri.

Momen Pilpres 2019 terasa sangat berbeda dengam Pilpres sebelumnya, di mana muncul lebih banyak klaim keulamaan yang masing-masing akan menggelar pertemuan khusus membahas siapa capres yang akan direkomendasikan pihak masing-masing.

Setelah PA 212 akan menggelar ijtimak ulama di bawah wadah besar GNPF-U, muncul juga gelaran serupa yang diinisisasi kelompok ulama lainnya dengan nama musyawarah ulama yang diinisiasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Di sisi lain, NU yang juga dikenal sebagai organisasi "keulamaan" bahkan berkumpul para ulama di dalamnya dengan beragam latar belakang, justru terkesan tak dilibatkan, mengingat penjelasan Ketua PBNU, Marsyudi Suhud yang belum mengetahui ada agenda perkumpulan para ulama yang akan membahas Pilpres 2019. Apakah karena NU tampak lebih condong arah dukungan politiknya kepada pemerintah? Wallahu a'lam. 

Namun yang pasti, melihat perkembangan para ulama yang tiba-tiba menjadi pegiat politik jelang Pilpres 2019 nanti, rasanya memang cukup membingungkan. Adanya klaim masing-masing ulama yang pada akhirnya membuat fatwa tersendiri soal siapa kandidat yang layak dipilih, tentu akan membingungkan masyarakat karena kepada kelompok ulama mana yang nanti harus didukung fatwanya.

Melihat fenomena kemunculan para ulama di momen Pilpres kali ini, menunjukkan bahwa isu agama sukses menelanjangi momen Pilpres, di mana seakan-akan antara satu kandidat dengan yang lainnya, dipertimbangkan berdasar "kesalehannya", bukan berdasar pada "kemampuannya" dalam menjadi pemimpin.

Mengukur kesalehan seseorang tentu saja sulit, tak seperti mengukur kemampuan yang dapat dilihat kasat mata terhadap apa yang sejauh ini telah dilakukannya dalam masyarakat. Itulah kenapa, Islam mensyaratkan pemimpin tak terkait kesalehan, tetapi lebih kepada "keluasan ilmu pengetahuan" (basthatan fil 'ilmi) dan "kekuatan fisik" (wal jismi). Keduanya merupakan prasyarat kepemimpinan ideal yang tentu saja mudah diukur secara rasional.

Ketika melihat adanya 2 kubu ulama yang hendak melakukan pertemuan politik membahas soal capres, jelas hal ini menunjukkan adanya dua kepentingan politik yang berbeda. Sepanjang yang saya tahu, musyawarah ulama yang digagas MMI mengundang seluruh ulama yang tergabung dalam wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI) di seluruh Indonesia. 

Hampir dipastikan, seluruh ketua MUI diundang untuk menghadiri acara tersebut di Tasikmalaya, Jawa Barat, bulan Agustus mendatang. Sedangkan GNPF-U adalah sekelompok ulama lain yang tentu saja sudah memiliki wadah politiknya tersendiri, berasal dari para alumni gerakan 212 yang juga tersebar di seluruh Indonesia.

Oleh karena itu, saya kira, GNPF tidak lagi menggunakan embel-embel MUI di belakangnya, karena kemungkinan besar mereka tak lagi sejalan dengan ulama-ulama yang tergabung di MUI. GNPF-U merupakan kelompok yang sama sekali tak mendukung pemerintahan, melihat dari berbagai pernyataannya yang secara nyata tak akan mendukung seluruh parpol koalisi pemerintah, termasuk siapapun yang mendukung pemerintahan. Mereka tentu saja mendukung dan ada di barisan bersama parpol oposisi dan menjadikan para "oposan" ini sebagai "tunggangan" bagi kendaraan politik mereka menuju kekuasaan.

Sulit untuk tidak mengatakan, kenyataan Pilpres 2019 dengan sendirinya telah memecah-belah para ulama, bahkan membenturkan antarsatu dan lainnya. Para ulama terkesan sedang memperebutkan kandidat yang dinilai cocok dan sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Yang dikhawatirkan justru muncul fatwa yang saling bertolak belakang, soal rekomendasi kandidat capres yang kemudian disodorkan kepada masyarakat. Jika ada 2 "fatwa" yang berbeda, lalu mungkinkah dilebur dan seluruh ulama sepakat menyodorkan satu kandidat? Lagi-lagi, soal ini akan lebih banyak bicara soal kepentingan kelompok, bukan untuk kemaslahatan umat.

Saya justru khawatir, fenomena klaim para ulama yang menjadi pegiat politik ini dibalas juga dengan upaya serupa oleh ulama lainnya dengan juga mengeluarkan fatwa politik secara berbeda. Untungnya, para ulama yang tergabung dalam ormas Islam semisal NU atau Muhammadiyah, tak ikut latah secara resmi membentuk forum keulamaan yang juga membahas kandidat capres. Inilah fenomena "njlimet" soal Pilpres, ketika muncul klaim-klaim keulamaan yang masing-masing punya pilihan sendiri terhadap kandidat capresnya. Padahal, mekanisme parpol dalam penjaringan kandidat capres sejauh ini, dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa harus melibatkan sekian banyak ulama didalamnya.

Diakui maupun tidak, disadari ataupun tidak, para ulama pada akhirnya digiring untuk satu hal yang tak ada sama sekali kaitannya dengan pemberdayaan umat. Kenapa demikian? Karena pada akhirnya proses pemilihan umum akan dilakukan secara rahasia dan bersifat pribadi yang sulit diketahui kepada siapa seseorang dalam bilik suara melabuhkan pilihannya. 

Lalu, apakah mereka juga akan memilih kandidat tertentu berdasarkan kedekatan ideologinya? Belum tentu juga, karena rasionalitas pemilih secara umum didasarkan pada keyakinan atas harapan kepada pemimpin berbasiskan kinerja, ketokohan, dan melihat pengalaman yang ditunjukkan oleh para kandidatnya. Apakah fatwa ulama yang berbeda akan juga mempengaruhi? Wallahu a'lam.

Itulah kenapa, ketika ayahanda saya sendiri yang mendapatkan undangan musyawarah ulama dari MMI, menolak untuk hadir. Alasannya, beliau enggan mencampuradukkan urusan agama dan politik, apalagi ada juga kubu ulama lainnya yang akan menggelar acara serupa. Klaim keulamaan belakangan ini justru marak, menjadi representasi atas dukungan terhadap kandidat tertentu. 

Bukankah sebelumnya ada juga kelompok ulama muda yang mendukung salah satu kandidat capres? Padahal, siapapun presidennya kelak tentu saja warga asli tulen Indonesia yang sama-sama mempunyai semangat memperbaiki, membenahi, dan menjaga NKRI dalam lingkup besar kenegaraan. Tak mungkin rasa-rasanya, ada kandidat yang sengaja berniat busuk untuk menghancurkan republik ini dengan mengeruk keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya. Namun, itulah politik, di mana dukung-mendukung adalah bagian dari aspirasi politik masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun