Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rekomendasi Capres 2019 dan Klaim Putusan para Ulama

20 Juli 2018   10:53 Diperbarui: 20 Juli 2018   15:43 2347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: 123 rf

Yang dikhawatirkan justru muncul fatwa yang saling bertolak belakang, soal rekomendasi kandidat capres yang kemudian disodorkan kepada masyarakat. Jika ada 2 "fatwa" yang berbeda, lalu mungkinkah dilebur dan seluruh ulama sepakat menyodorkan satu kandidat? Lagi-lagi, soal ini akan lebih banyak bicara soal kepentingan kelompok, bukan untuk kemaslahatan umat.

Saya justru khawatir, fenomena klaim para ulama yang menjadi pegiat politik ini dibalas juga dengan upaya serupa oleh ulama lainnya dengan juga mengeluarkan fatwa politik secara berbeda. Untungnya, para ulama yang tergabung dalam ormas Islam semisal NU atau Muhammadiyah, tak ikut latah secara resmi membentuk forum keulamaan yang juga membahas kandidat capres. Inilah fenomena "njlimet" soal Pilpres, ketika muncul klaim-klaim keulamaan yang masing-masing punya pilihan sendiri terhadap kandidat capresnya. Padahal, mekanisme parpol dalam penjaringan kandidat capres sejauh ini, dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa harus melibatkan sekian banyak ulama didalamnya.

Diakui maupun tidak, disadari ataupun tidak, para ulama pada akhirnya digiring untuk satu hal yang tak ada sama sekali kaitannya dengan pemberdayaan umat. Kenapa demikian? Karena pada akhirnya proses pemilihan umum akan dilakukan secara rahasia dan bersifat pribadi yang sulit diketahui kepada siapa seseorang dalam bilik suara melabuhkan pilihannya. 

Lalu, apakah mereka juga akan memilih kandidat tertentu berdasarkan kedekatan ideologinya? Belum tentu juga, karena rasionalitas pemilih secara umum didasarkan pada keyakinan atas harapan kepada pemimpin berbasiskan kinerja, ketokohan, dan melihat pengalaman yang ditunjukkan oleh para kandidatnya. Apakah fatwa ulama yang berbeda akan juga mempengaruhi? Wallahu a'lam.

Itulah kenapa, ketika ayahanda saya sendiri yang mendapatkan undangan musyawarah ulama dari MMI, menolak untuk hadir. Alasannya, beliau enggan mencampuradukkan urusan agama dan politik, apalagi ada juga kubu ulama lainnya yang akan menggelar acara serupa. Klaim keulamaan belakangan ini justru marak, menjadi representasi atas dukungan terhadap kandidat tertentu. 

Bukankah sebelumnya ada juga kelompok ulama muda yang mendukung salah satu kandidat capres? Padahal, siapapun presidennya kelak tentu saja warga asli tulen Indonesia yang sama-sama mempunyai semangat memperbaiki, membenahi, dan menjaga NKRI dalam lingkup besar kenegaraan. Tak mungkin rasa-rasanya, ada kandidat yang sengaja berniat busuk untuk menghancurkan republik ini dengan mengeruk keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya. Namun, itulah politik, di mana dukung-mendukung adalah bagian dari aspirasi politik masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun