Menyebut "ulama" rasa-rasanya untuk saat ini sulit mendefinisikannya secara tepat, terlebih ketika muncul fenomena klaim ulama yang masing-masing dikooptasi oleh kelompoknya sendiri-sendiri.
Momen Pilpres 2019 terasa sangat berbeda dengam Pilpres sebelumnya, di mana muncul lebih banyak klaim keulamaan yang masing-masing akan menggelar pertemuan khusus membahas siapa capres yang akan direkomendasikan pihak masing-masing.
Setelah PA 212 akan menggelar ijtimak ulama di bawah wadah besar GNPF-U, muncul juga gelaran serupa yang diinisisasi kelompok ulama lainnya dengan nama musyawarah ulama yang diinisiasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Di sisi lain, NU yang juga dikenal sebagai organisasi "keulamaan" bahkan berkumpul para ulama di dalamnya dengan beragam latar belakang, justru terkesan tak dilibatkan, mengingat penjelasan Ketua PBNU, Marsyudi Suhud yang belum mengetahui ada agenda perkumpulan para ulama yang akan membahas Pilpres 2019. Apakah karena NU tampak lebih condong arah dukungan politiknya kepada pemerintah? Wallahu a'lam.Â
Namun yang pasti, melihat perkembangan para ulama yang tiba-tiba menjadi pegiat politik jelang Pilpres 2019 nanti, rasanya memang cukup membingungkan. Adanya klaim masing-masing ulama yang pada akhirnya membuat fatwa tersendiri soal siapa kandidat yang layak dipilih, tentu akan membingungkan masyarakat karena kepada kelompok ulama mana yang nanti harus didukung fatwanya.
Melihat fenomena kemunculan para ulama di momen Pilpres kali ini, menunjukkan bahwa isu agama sukses menelanjangi momen Pilpres, di mana seakan-akan antara satu kandidat dengan yang lainnya, dipertimbangkan berdasar "kesalehannya", bukan berdasar pada "kemampuannya" dalam menjadi pemimpin.
Mengukur kesalehan seseorang tentu saja sulit, tak seperti mengukur kemampuan yang dapat dilihat kasat mata terhadap apa yang sejauh ini telah dilakukannya dalam masyarakat. Itulah kenapa, Islam mensyaratkan pemimpin tak terkait kesalehan, tetapi lebih kepada "keluasan ilmu pengetahuan" (basthatan fil 'ilmi) dan "kekuatan fisik" (wal jismi). Keduanya merupakan prasyarat kepemimpinan ideal yang tentu saja mudah diukur secara rasional.
Ketika melihat adanya 2 kubu ulama yang hendak melakukan pertemuan politik membahas soal capres, jelas hal ini menunjukkan adanya dua kepentingan politik yang berbeda. Sepanjang yang saya tahu, musyawarah ulama yang digagas MMI mengundang seluruh ulama yang tergabung dalam wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI) di seluruh Indonesia.Â
Hampir dipastikan, seluruh ketua MUI diundang untuk menghadiri acara tersebut di Tasikmalaya, Jawa Barat, bulan Agustus mendatang. Sedangkan GNPF-U adalah sekelompok ulama lain yang tentu saja sudah memiliki wadah politiknya tersendiri, berasal dari para alumni gerakan 212 yang juga tersebar di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu, saya kira, GNPF tidak lagi menggunakan embel-embel MUI di belakangnya, karena kemungkinan besar mereka tak lagi sejalan dengan ulama-ulama yang tergabung di MUI. GNPF-U merupakan kelompok yang sama sekali tak mendukung pemerintahan, melihat dari berbagai pernyataannya yang secara nyata tak akan mendukung seluruh parpol koalisi pemerintah, termasuk siapapun yang mendukung pemerintahan. Mereka tentu saja mendukung dan ada di barisan bersama parpol oposisi dan menjadikan para "oposan" ini sebagai "tunggangan" bagi kendaraan politik mereka menuju kekuasaan.
Sulit untuk tidak mengatakan, kenyataan Pilpres 2019 dengan sendirinya telah memecah-belah para ulama, bahkan membenturkan antarsatu dan lainnya. Para ulama terkesan sedang memperebutkan kandidat yang dinilai cocok dan sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!