Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Strategi PDIP Rangkul Caleg Muslim

18 Juli 2018   10:15 Diperbarui: 18 Juli 2018   10:17 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin diantara sekian banyak parpol, PDIP termasuk diantaranya yang sering diisukan publik sebagai parpol yang kurang merangkul kalangan muslim. Entah bagaimana asal-usulnya, yang pasti, kalaupun cukup mewakili kalangan Islam, tetap saja masih dianggap sebagai representasi kaum "abangan Islam" bukan representasi kalangan santri. 

Belum lagi isu yang dihembuskan belakangan ini, terkesan menyudutkan parpol berlambang kepala banteng ini sebagai anti-Islam,melihat dari beragam pernyataan elit politiknya yang kontroversial. Untuk menghilangkan kesan negatif sebagai parpol yang kurang merangkul kalangan muslim, PDIP membuat strategi yang mengejutkan: menyodorkan caleg dari kalangan muslim bahkan yang dulu sempat berseberangan.

Nama caleg PDIP yang cukup menggemparkan adalah Kapitra Ampera karena ia dikenal sebagai pengacara Habib Rizieq Syihab (HRS), tokoh yang diketahui selalu berseberangan secara ideologis dengan parpol berlambang banteng ini. 

Padahal, tak ada kaitannya seorang pengacara dengan siapa yang dibelanya, karena pembelaan hukum tak ada hubungannya dengan ideologi politik. Namun, representasinya sebagai pengacara muslim yang membela kasus-kasus politik tertentu terkait dengan berbagai gerakan "Islam politik", publik kadung melabeli dirinya sebagai "pendukung" HRS yang secara ideologis kontraproduktif dengan PDIP.

Bagi saya, tak ada dukungan abadi dalam konteks politik, karena politik selalu dinamis dan bisa berubah-ubah tak ada kaitannya dengan ideologi keagamaan tertentu. Wajar, jika Kapitra kemudian maju sebagai bakal caleg dari PDIP dengan melihat kemungkinan peluang yang lebih besar dibanding maju dari jalur parpol lainnya. Disisi lain, PDIP memang sedang memasang strategi politik tahun ini untuk merangkul kalangan muslim yang dikenal publik sebanyak-banyaknya. 

Hal ini jelas, harus dilakukan parpol pimpinan Megawati Soekarnoputri ini, jika ingin mulus menjadi parpol pemenang di pemilu 2019 mendatang. Sebab, sulit jika PDIP tetap memposisikan dirinya sebagai parpol yang kurang merangkul kalangan muslim, bisa keluar sebagai parpol terbesar dan mendominasi parlemen.

Caleg lain yang cukup mengejutkan tentu saja Yusuf Supendi, karena ia salah satu pendiri PKS, parpol yang juga "seteru politik" PDIP. Secara nasional, PDIP dan PKS adalah rival, sehingga tak mungkin melakukan koalisi politik. 

Kecuali di beberapa daerah yang dalam beberapa kasus Pilkada, ada kalanya kedua parpol berseberangan ideologi ini berkoalisi namun sangat kecil persentasenya. 

Lalu, kenapa Yusuf malah memilih PDIP sebagai kendaraan politiknya? Ya, dirinya beranggapan PDIP merupakan parpol papan atas dan meyakini bahwa parpol pilihannya diisi oleh 77 persen kalangan muslim santri. Dengan demikian, peluang keterpilihan dirinya sebagai caleg yang maju dari Kabupaten Bogor justru sangat besar.

Saya kira, keberadaan Kapitra dan Yusuf di PDIP yang diterima secara baik, merupakan momen terbaik bagi parpol moncong putih ini mengatur ulang strategi politiknya. Setelah sekian lama distigmatisasi negatif oleh publik sebagai parpol yang berseberangan dengan kalangan Islam, PDIP langsung mengumumkan ke publik, bahwa bakal calegnya justru yang selama ini dikenal sebagai figur yang berseberangan tetapi justru tak ragu merapat ke parpol pemenang pemilu 2014 ini. 

Dinamika politik memang selalu menarik, sehingga tak perlu kita merasa heran atau bertanya-tanya, kenapa begitu mudahnya para elit berganti "kendaraan", karena sejatinya, wacana ideologi dalam kepolitikan itu mudah luntur tergantikan hasrat kekuasaan dan beragam kepentingan.

Ideologi menjadi tidak penting lagi dalam ranah kekuasaan politik, karena kenyataan pragmatisme yang justru menjadi incaran banyak orang. Bersikap pragmatis di era kepolitikan saat ini, justru sangat menonjol, karena parpol ibarat perusahaan besar dimana setiap caleg berkompetisi agar diterima menjadi para "pekerja"nya. 

Kedudukan, jabatan, previlege, dan tentu saja penghasilan yang meningkat justru menjadi alasan kuat, kenapa seseorang harus berkompetisi di ranah kekuasaan. Kenyataan ideologis hanya ada di awang-awang, menggantung di luar kepala setiap orang, hanya dipakai pada saat diperlukan untuk mobilisasi massa demi tujuan-tujuan kepentingan sepihak.

PDIP sebagai parpol tertua dan berpengalaman, tentu memahami untuk segera "menanggalkan" segala atribusi kepolitikan yang dipandang negatif oleh masyarakat. Tujuannya, masyarakat dapat tertarik kembali memilih parpol ini dengan menempatkan sebanyak-banyaknya representasi kalangan Islam dari berbagai kelompok, baik yang pro maupun kontra. 

Bukan tidak mungkin, akan muncul banyak figur muslim lainnya yang dikenal secara nasional yang direkrut masuk kedalam kepengurusan partai dengan harapan stigma negatif sebagai parpol yang kurang merangkul kalangan Islam terbantahkan. Memang, sudah seharusnya PDIP lebih banyak merangkul kalangan pemilih muslim dengan strategi menempatkan tokoh muslim di pentas politik nasional.

Lalu dengan demikian, kemakah perginya ideologi politik yang selama ini diusung oleh sekian banyak parpol? Jawabannya ada disaat kita dan anda memilih salah satu kandidat di bilik suara, masihkah memilih berdasarkan ideologi? Kedekatan? Atau karena seseorang itu publik figur? Atau karena memang parpol tersebut selaras dengan ideologi politik atau keagamaan yang ada dalam benak kita? Memilih tentu saja sangat pragmatis, hampir tak ada latar belakang kesamaan ideologis yang dipergunakan, apalagi jika seseorang itu dikenal sebagai figur baik di tengah masyarakat. Tak ada lagi parpol kuning, hijau, biru, atau hitam, karena semuanya berdasarkan pragmatisme politik.

Saya kira, kita tak perlu terkejut apalagi menghujat jika muncul para bakal caleg yang berasal dari latar belakang kalangan muslim yang sempat dianggap tak mungkin memanfaatkan PDIP sebagai parpol pengusung dirinya. Itulah politik dengan segala dinamikanya yang tak dapat kita nilai secara luarnya saja. 

Terkadang, untuk menemukan seperti apa sesungguhnya lingkup internal suatu parpol, kita tentu harus masuk kedalamnya dan menjadi bagian dari mereka. Menilai sesuatu dari luar, terkadang seringkali kita salah, itulah salah satu alasan bagi Kapitra walaupun dirinya menjadi bagian dari PDIP, tetapi tetap bersuara lantang, "Capres saya tetap Habib Rizieq!"  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun