Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Remeh-temeh dan Jumat Sakral

6 Juli 2018   10:18 Diperbarui: 6 Juli 2018   10:25 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi umat muslim, hari Jumat merupakan hari yang disakralkan karena banyak sejarah yang mengitarinya. Setiap umat beragama, tentu memiliki hari-hari tertentu yang disakralkan terkait erat dengan lingkup peristiwa besar yang melekat di dalamnya.

Hari Sabtu merupakan hari sakral bagi umat Yahudi dan Minggu pasti hari sakral bagi umat Kristiani. Dalam tradisi Islam, hari Jumat dipilih sebagai "hari raya" karena di hari itu seluruh umat muslim berkumpul melaksanakan salat Jumat yang terkonsentrasi di masjid-masjid.

Di beberapa negara mayoritas muslim, libur nasional jatuh pada hari Jumat, bukan hari Sabtu atau Minggu. Bagi yang menerapkan Jumat sebagai hari libur, jelas memberikan kesempatan yang luas agar masyarakat muslim dapat berpadu dalam kegembiraan, khusyuk beribadah, dan dapat berkumpul bersama keluarganya.

Uniknya, dalam tradisi Nusantara, hari Jumat seringkali dikaitkan dengan dimensi keghaiban dimana dalam keyakinan banyak orang Indonesia, malam Jumat justru dianggap sebagai malam horor karena segala yang ghaib bergentayangan di malam itu. Lihat saja acara-acara di TV yang menyuguhkan acara horor dan menyeramkan terkait dengan hal-hal ghaib yang digelar setiap malam Jumat.

Bahkan dalam tradisi Barat juga tak jauh berbeda, dimana Jumat selali dikaitkan dengan hal-hal yang diluar nalar sehat manusia. Disini tampak ada semacam "perebutan" budaya yang dikooptasi melalui hari-hari tertentu, walaupun setiap hari tentu saja memiliki "keistimewaan" sendiri dari setiap peristiwa yang melingkupi pribadi seseorang.

Sebagai muslim, saya berkeyakinan bahwa hari Jumat adalah hari baik yang semestinya dijadikan hari ber-muhasabah (introspeksi) bagi diri sendiri terhadap seluruh kesalahan yang dilakukan di hari-hari lainnya. Hal ini jelas didasarkan pada sebuah ayat al-Quran yang cukup terkenal, "Apabila kalian diseru untuk salat di hari Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkan jual beli (segala hal yang bersifat profan)".

Inilah barangkali yang dimaksud bahwa Jumat memiliki kesakralan karena didalamnya ada perintah Tuhan untuk berdoa, meninggalkan sejenak kehidupan dunia dengan cara introspeksi atas segala kesalahan yang pernah kita lakukan. Hari Jumat terasa istimewa, karena pada hari itulah manusia pertama, Adam, diciptakan Tuhan dan ditetapkan surga sebagai tempat tinggalnya sebelum kemudian diutus menjadi "khalifah" di muka bumi.

Jika hari Jumat lekat dengan dimensi kesakralannya agar setiap orang inrospeksi terhadap dirinya sendiri, agak aneh sebenarnya jika kemudian kesakralannya tercerabut karena manusia justru berharap keduniaannya pada hari ini. Salah satu yang sering kita saksikan justru serangkaian demonstrasi terkait politik remeh temeh dan profan yang justru dilakukan pada hari Jumat. Padahal, merujuk pada kajian etimologisnya, "jum'ah" berarti "ullifah" (menjinakkan yang liar) atau segala sesuatu "menjadi jinak, tenang". Itulah kenapa, Jumat berkah sangat berkonotasi pada adanya kebaikan yang semakin bertambah karena setiap nafsu manusia yang bersifat profan dijinakkan oleh kehambaan dirinya kepada Tuhan.

Alangkah mengkhawatirkan, jika kemudian makna Jumat yang sakral, penuh kedamaian, ketenangan, dan nuansa kekhusukan beribadah justru tergeser menjadi hari berdemonstrasi yang sejauh ini lekat dengan fenomena protes, ketidaksetujuan, kemarahan, tuntutan, atau apapun yang segala sesuatunya terkait dengan remeh-temen politik yang profan. Tidak ada aturan yang melarang berdemonstrasi, karena itu adalah hak individu bahkan hak kelompok sosial yang dijamin undang-undang, tetapi kenapa harus hari Jumat yang dipilih? Kita mungkin dapat mengembalikan kepada alasan masing-masing karena pasti perdebatan soal pilihan di hari sakral ini tak akan pernah selesai.

Dalam makna etimologi lainnya, "jum'ah" berasal dari akar katanya "jama'a" yang berarti "berkumpul atau mengumpulkan bersama-sama". Itulah sebabnya, hari Jumat dipilih oleh Nabi Muhammad sebagai waktu berkumpulnya umat muslim untuk beribadah karena di hari-hari lainnya manusia pasti disibukkan oleh hal-hal profan dalam mencari kenikmatan dunianya.

Maka, tegas ketika Allah firmankan: "bersegeralah untuk beribadah kepada Allah" (fas'aw ilaa dzikrillah) yang selanjutnya diikuti dengan kalimat: "tinggalkanlah jual beli" (wa dzarul bay'). Kata "jual beli" lekat dengan kesibukan manusia akan kenikmatan dunia, remeh-temeh, profan, termasuk urusan-urusan politik yang tak menjanjikan kehidupan abadi manusia.

Politik yang remeh-temeh dan profan serasa sangat membingungkan ketika bercampur aduk dengan nuansa sakral yang penuh nilai-nilai kesucian jika digelar di hari Jumat. Jangan-jangan ini sebagai pemanfaatan nilai-nilai sakral Jumat yang sengaja dikaburkan maknanya demi kepentingan-kepentingan segelintir orang yang merongrong kenikmatan dunia. Mungkin ini asumsi saya pribadi, jikapun ada asumsi lainnya yang tak setuju dengan anggapan saya, silahkan saja.

Bagi saya, nilai kesakralan hari Jumat harus tetap dijaga dan dijunjung tinggi sebagai bagian dari tradisi agama yang saya yakini berasal dari firman Tuhan. Dalam keyakinan saya, dipilihnya hari Jumat sebagai hari terbaik dalam rangka introspeksi, sejalan dengan meninggalkan syahwat keduniaan kita dan berhenti sejenak untuk urusan-urusan dunia---termasuk politik---sehingga tetap terjaga kesakralannya.

Lalu, apakah demonstrasi terkait dengan hal profan? Bagi saya jelas, karena dalam kegiatan demonstrasi keluar teriakan-teriakan tuntutan, keinginan, bahkan mungkin umpatan-umpatan dan tak jarang mempersepsikan kebencian kepada salah satu pihak. Jangan memaksakan nilai-nilai agama yang sakral masuk dalam wilayah profan, karena yang terjadi justru pemutarbalikan fakta yang berdampak pada pembodohan masyarakat.

Politik hanyalah hal remeh-temeh dan profan yang memang perlu diperjuangkan, tetapi tak sampai menggusur nilai-nilai kesakralan agama. Lebih baik introspeksi kedalam diri kita sendiri, sudah sejauh mana sisi kemanusiaan kita bermanfaat bagi yang lainnya. Demonstrasilah di hari Jumat kepada dirimu sendiri, hitung kebaikan dan kemanfaatan dirimu sudah sejauh mana diterima orang lain, itulah Jumat berkah untuk muhasabah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun