Salah satu kandidat yang masuk dalam bursa capres yang diusung Persatuan Alumni (PA) 212 dan beberapa lembaga survei, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi menyatakan dukungannya kepada Presiden Joko Widodo agar memantapkan langkahnya untuk tetap melanjutkan kepemimpinannya selama 2 periode.
Dukungannya kepada Jokowi ini dinyatakan dalam rangka kunjungannya ke redaksi Transmedia Rabu (04/07) kemarin. Banyak pihak yang menyatakan kekagetannya atas dukungan TGB ini, terutama berasal dari koalisi parpol yang sejauh ini "bersekutu" dengan gerakan 212 yang menjadi rival parpol pendukung Jokowi.
Dinamika politik jelang Pilpres 2019 semakin menarik diikuti, terutama soal persaingan kuat seteru lama antara kubu Jokowi dan Prabowo. Tidak ada yang tak mungkin dalam politik, karena semuanya berdasarkan rasionalitas kalkulasi dan prediksi, sedikit sekali efek keyakinan agama yang mendorong seseorang menjadi pendukung atau penolak salah satu kandidat.
TGB, jelas mengungkapkan sisi rasionalitas politiknya seraya menghindari dampak politisasi agama yang sejauh ini terkesan menguat. Alasannya dalam menegakkan kemaslahatan bangsa, umat, dan akal sehat menjadi poin utama yang mendasari dirinya mantap mendukung pemerintahan Jokowi 2 periode.
Demokrat tampaknya lebih memilih terus mempopulerkan sang anak emas, AHY, untuk maju dalam ajang kontestasi nasional setelah dirinya kalah dalam Pilgub DKI Jakarta. Bukan hal yang mengagetkan, jika TGB justru lebih memilih mendukung Jokowi 2 periode, karena secara politik, ia hanya sekadar dimanfaatkan yang belum tentu diusung partainya sendiri.
Bagi saya, TGB secara rasional mampu mendudukkan realitas politik seraya menjauhi gesekan-gesekan politisasi agama yang terus dihembuskan oleh gerakan-gerakan politik yang mengatasnamakan agama. Kekhawatiran TGB sangat wajar, mengingat ia bergelar "Tuan Guru" yang berarti melekat dalam dirinya sosok keulamaan yang mumpuni dan memahami secara baik ajaran-ajaran agamanya. Gubernur lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini memahami secara baik, bahwa agama tak harus "dijual" demi urusan politik, tetapi lebih jauh harus dapat membuktikan bahwa agama mampu secara substantif memberi nilai-nilai kebaikan bagi seluruh kehidupan politik.
Politisasi agama yang kian mengental dalam soal dukungan atau penolakan terhadap kandidat capres tertentu, justru membahayakan. Bagaimana tidak, jika memang kemudian yang didukung berdasarkan alasan-alasan keyakinan atau agama tertentu dengan menganggap bahwa keyakinan lain lebih buruk atau lebih rendah, jelas akan merusak tatanan sosial yang realitasnya heterogen, tidak homogen.
Kemaslahatan yang dimaksud dalam alasan yang diungkapkan TGB justru merangkum semuanya: bangsa, umat, dan akal sehat. Bangsa disebutkan pertama kali menandakan itu kepentingan yang paling besar dan paling penting, setelah itu umat yang menunjukkan satu komunitas tertentu dan terakhir baru pertimbangan akal sehat.
Saya mencoba menafsirkan alasan TGB ini dari dimensi keagamaan, di mana kata "bangsa" (syu'ub) ada pada urutan pertama sebagai alasan rasionalitas politiknya. Dalam Al-Quran, dijelaskan bahwa kenyataan manusia yang diciptakan Tuhan baik dari jenis laki-laki dan perempuan kemudian diikat dalam solidaritas kebangsaan terlebih dahulu dan dipecah kemudian berdasarkan kesukuan (qabaail). Kebangsaan jelas menjadi prioritas utama dalam isu kemaslahatan sosial-politik karena realitas bangsa merupakan cerminan dari berbagai suku dan agama.
Dukungan TGB kepada Jokowi secara politik adalah sangat wajar, mengingat dirinya merasakan sebagai seorang gubernur bagaimana respon pemerintah dibawah kendali Jokowi mampu membuat berbagai perubahan yang signifikan dalam kemajuan bangsa. Pembangunan yang dirasa belum usai ini, menjadikan alasan kuat dirinya mendukung Jokowi agar menyelesaikan pembangunan yang selama periode pertama kepemimpinannya telah berjalan. Dukungan ini jelas tak ada kaitannya dengan agama, tetapi lebih kepada akal sehat yang didukung oleh kenyataan keagamaan bahwa kemaslahatan (kebaikan) bagi seluruh elemen bangsa harus tetap dikedepankan.
Namun demikian, dukungan politik tak seharusnya ditafsirkan oleh berbagai kalangan sebagai bentuk pengingkaran atas nama agama. Alasan kelompok PA 212 yang mencoret daftar nama TGB dari kandidat capres hasil kesepakatan mereka seharusnya tidak pula didasarkan oleh alasan keagamaan.Â