Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebaran dan Pesan Perdamaian

17 Juni 2018   05:36 Diperbarui: 17 Juni 2018   05:54 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebanyakan justru memanfaatkan momentum lebaran sekadar liburan (vacation) tahunan secara massif, lupa akan nilai-nilai perdamaian dan humanisme yang terkandung dalam muatan nilai Lebaran itu sendiri.

Hal yang sangat disesalkan dalam momentum Lebaran kali ini adalah berdekatannya dengan ajang kontestasi politik lima tahunan. Lebaran yang seharusnya dimaknai sebagai pesan damai bagi seluruh alam, malah seperti tercemari hiruk-pikuk dunia politik.

Bukan saja karena soal keberadaan salah satu staf presiden yang baru saja dilantik lalu bertandang ke negeri Zionis Israel sehingga menuai kontroversi, namun soal pembangunan jalan tol yang selesai dibangun bagi mereka yang berlebaran, tak luput dari upaya menjadikannya suatu komoditas politik.

Pesan damai Idul Fitri ternyata gagal ditangkap oleh mereka yang merayakannya, dan pada akhirnya nilai-nilai kasih sayang yang terungkap dalam riuhnya ungkapan maaf justru tercederai oleh kuatnya "pesanan politik".

Bagi saya, lebaran atau Idul Fitri mempunyai pesan yang kuat dalam hal perdamaian, termasuk menyepikan diri dari hal-hal yang akan mengundang kontroversial di ranah publik.

Jika memang soal undangan Israel itu lebih banyak mudarat-nya dibanding manfaatnya, seharusnya dengan kewarasan berpikir seseorang mungkin saja hal tersebut dihindari. Saya meyakini, bahwa adagium "dar'ul mafaasid muqaddamun 'ala jalbil masholih" (mencegah kerusakan---termasuk kegaduhan---harus didahulukan daripada mendorong kemaslahatan) tetap merupakan prinsip terbaik yang masih berlaku hingga saat ini.

Bagi kalangan Nahdlatul Ulama (NU), adagium ini justru seringkali dipergunakan dalam konteks kepolitikan yang lebih memilih menghindari konflik ketimbang menciptakan kebaikan atau kemaslahatan.

Di sisi lain, momentum pilpres yang semakin dekat ditengah pesan kuat perdamaian Idul fitri justru menjadi bias karena suasana dukung mendukung dalam hal politik-kekuasaan memporak-porandakan nilai-nilai perdamaian didalamnya.

Saya masih ingat, betapa kuatnya dunia politik mencerabut akar kedamaian lebaran melalui serangkaian narasi pro kontra di media sosial. Pesan perdamaian justru sama sekali hilang tak terungkap, karena berondongan narasi politik yang saling serang, saling hujat, dan saling menyalahkan antarsatu kelompok dan lainnya dengan suasana penuh kesadaran ditengah euforia Lebaran. Lebaran yang menebarkan pesan damai dan bersatu ditutup oleh pesan-pesan provokatif akibat perebutan kekuasaan.

Disadari maupun tidak, prosesi puasa Ramadan yang diakhiri oleh momen teristimewa Lebaran yang semestinya merupakan pendidikan mengendalikan syahwat kekuasaan, justru paradoks dengan hasrat yang sedemikian besar terhadap praktik-praktik busuk kekuasaan.

Setiap orang lebih suka mengumbar syahwat politiknya dengan kebanggaan atas dirinya sendiri tanpa peduli jika ada orang lain yang tercederai. Mereka bahkan bangga mengumbar syahwat kekuasaannya di depan publik dan merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu kebenaran yang "tertutup" dari nilai-nilai kebenaran yang diakui secara umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun