Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Pulang Kampung

9 Juni 2018   16:43 Diperbarui: 9 Juni 2018   17:24 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernyataan ini sontak membuat gaduh dan walhasil narasi-narasi tandingan bermunculan dan bersahutan sebagai bentuk pembelaan soal pulang kampung ini. Inilah bukti bahwa pulang kampung ternyata bisa juga terseret dalam lingkaran politik praktis, disadari maupun tidak oleh kita.

Bagi saya, tak ada yang perlu dilebih-lebihkan dari tradisi pulang kampung, terkait dengan urusan politik maupun tidak. Bangsa ini sudah menjadi sangat luar biasa konsumtifnya, jangan lagi dibebani dengan urusan-urusan politik picisan tetapi dianggap penting oleh para kaum elit-nya. 

Untuk urusan pulang kampung saja, berapa banyak uang yang sudah dihabiskan pemudik yang bahkan telah dibayarkan jauh-jauh hari hanya sekadar ingin mewujudkan berlebaran di kampung halaman.

Lebaran atau Idul Fitri justru tak hanya miliki umat Islam yang merayakannya, tetapi milik seluruh umat beragama bahkan di seluruh dunia. Itulah kenapa misalnya Duterte meliburkan warganya disaat hari Idul Fitri nanti, padahal Filipina adalah negara dengan mayoritas agama Katolik. Memaknai pulang kampung seharusnya tak lagi disandingkan dengan berbagai intrik politik yang membosankan, karena bagaimanapun pada akhirnya merusak makna "kembali" itu sendiri. 

Jika Idul Fitri berarti "kembali suci" berarti momen pulang kampung semata-mata adalah proses pembersihan setiap orang agar nanti jika "kembali" menjadi bersih dan suci, tanpa kesalahan dan dosa. Bagaimana proses "kembali" ini menjadi bermakna jika belum apa-apa sudah dipolitisasi.

Sulit rasanya mensterilisasi pulang kampung dari segala macam aktivitas politik. Tidak hanya ketika hendak pulang kampungnya, setelah kembali lagi ke Ibu Kota juga ramai dengan komoditas politik. 

Jika dulu ketika masa gubernur Jakarta periode sebelumnya melarang orang-orang kampung memasuki Jakarta, maka gubernur sekarang justru mempersilahkan warga lain untuk mencari kehidupan di Jakarta dan Ibu Kota tak terlarang bagi para pencari kerja baru. 

Menarik bukan? Anda dapat mengartikan ini sebagai komoditas politik atau tidak, tergantung dalam hal ini kecenderungan politik anda mengarah kemana. Ternyata momen religius yang sedemikian dihormati sekalipun, sulit terhindari dari konteks politik yang rendah dan merugikan.

Bagi saya, politik pulang kampung berarti bersiasat bagaimana caranya agar terhindar dari titik-titik kemacetan dan tak ikut menjadi korban kegilaan jalan yang sumpek dijubeli jutaan kendaraan. 

Saya pun harus berpolitik mengatur dana yang ada agar tak dihabiskan untuk sekadar ongkos pulang kampung, tetapi bagaimana dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kebutuhan lainnya yang lebih penting. 

Tanpa berpolitik dalam mengatur aktivitas pulang kampung, dana yang kita punya sebagai bekal malah habis memuai di jalanan tanpa kepastian yang jelas. Tak perlu dijadikan komoditas politik yang lekat dengan kekuasaan, biarlah pulang kampung menjadi aktivitas "politik" sendiri yang dijalankan oleh setiap orang yang merindukannya. Selamat pulang kampung tanpa politik kekuasaan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun