Rizieq tetap masih memiliki tempat di hati masyarakat ditengah kehidupan dirinya yang kontroversial. Bahkan, bukan suatu masalah jika perintah dan larangan Rizieq sejauh ini masih didengar dan dijalankan oleh sebagian kelompok di Tanah Air.Â
Ketokohan Rizieq, masih dibutuhkan oleh kekuatan parpol manapun---terutama Gerindra dan PKS---guna mengamankan kekurangan suaranya disaat kontestasi politik nanti berlangsung. Â
Jika benar nanti Demokrat dan PKB bergabung dalam satu koalisi tersendiri, parpol koalisi pemerintah jelas diuntungkan, karena pada akhirnya perebutan suara hanya terjadi antara koalisi keumatan dan koalisi nusantara.Â
Saya kira, di kubu koalisi pemerintah yang mendukung pencalonan Jokowi, jumlah suara pendukung mudah saja diprediksi melihat pada konteks persentase pemilih di pemilu 2014 yang lalu walaupun tak semuanya utuh sama. Ajang pilpres 2019 mendatang cukup unik, karena kental nuansa perebutan kekuasaan antarkubu yang didahului dengan pembangunan opini tanpa henti, membela, mengkritik, bahkan menjatuhkan kepercayaan masyarakat yang diarahkan pada salah satu kubu tertentu.
Namun disisi lain, jika koalisi keumatan memang benar-benar terbentuk, alangkah lebih baik jika mereka terus menjalin komunikasi dengan parpol lainnya yang belum menentukan sikap. Lebih baik merendahkan masing-masing ego politik kekuasaannya demi membangun sebuah koalisi politik yang lebih solid dan kuat.Â
Menarik saya kira, jika koalisi keumatan justru tak digembosi nantinya oleh koalisi nusantara hanya karena masing-masing mengedepankan ego-sentris kekuasaannya. Bergabung dalam suatu koalisi besar---apapun namanya tak perlu "identik" dengan agama tertentu---akan lebih banyak menguntungkan secara politik.Â
Mampu mempersatukan setiap kekuatan politik untuk membangun kesamaan visi-misi dalam konteks politik kebangsaan secara lebih luas, justru akan menjadi kekuatan super yang sulit tertandingi.
Saya justru membaca arah koalisi keumatan sepertinya terkesan "ekslusive", kurang mengedepankan sisi kebangsaan yang lebih luas. Garapan proyeksi politik mereka kental suasana "primordialisme", sehingga seringkali dicurigai oleh kubu politik lainnya, terlebih yang berseberangan. Semangat "primordialistik" yang diusung oleh koalisi keumatan yang konon sudah terbangun kemungkinan akan sulit "dirasionalisasikan" oleh Demokrat atau PKB.Â
Tak ada yang salah dengan membangun kekuatan politik dengan nuansa keberagamaan tertentu, walaupun pada akhirnya bentuk "fanatisme politik" tampak lebih dominan daripada suasana kebangsaan.
Saya sendiri cenderung berharap, tak ada poros baru yang terwujud, jika hanya sekadar mempertontonkan kegagalan komunikasi politik. Pertarungan head to head yang hanya dua kandidat, sepertinya lebih fair dan seru, juga irit dalam hal pembiayaan politik.Â
Disamping itu, peluang masing-masing kandidat untuk memenangi ajang kontestasi juga semakin besar, karena mereka hanya fokus menggarap suara rakyat tanpa dibebani komunikasi dengan parpol lainnya yang kadang njlimet oleh berbagai proses bargaining politik. Namun harus diakui, proses bargaining tentu saja lebih besar dan diutamakan dalam setiap proses politik, mengalahkan kepentingan lainnya yang lebih besar dalam hal membicarakan kesejahteraan rakyat.