Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rizieq Shihab Berebut Capres di 2019

30 Mei 2018   11:35 Diperbarui: 30 Mei 2018   22:59 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
megapolitan.kompas.com

Pemilu tahun 2019 mendatang ternyata semarak dengan nama-nama capres termasuk cawapres yang direkomendasikan berbagai pihak. Nama-nama politikus kawakan bahkan mulai beredar di kalangan masyarakat, seperti Yusril Ihza atau Anies Matta.

Tidak hanya itu, nama Rizieq Syihab bahkan muncul diusung sebagai capres terkuat oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212, sebuah gerakan politik yang terbentuk pasca aksi massa umat muslim di Jakarta. 

Keberadaan PA 212 terus menjelma menjadi kekuatan politik "oposan" setelah resmi pembentukannya. Bahkan, mereka melakukan serangkaian pertemuan dan mencoba membuka komunikasi politik dengan beberapa parpol yang belum menentukan sikap pada pemilu 2019 mendatang.

Usulan Rizieq Syihab menjadi capres versi PA 212 sudah dapat ditebak sejak awal, bahwa gerakan aksi massa yang mengatasnamakan 212 tak lebih sebagai sebuah gerakan politik dibanding gerakan agama. Isu agama yang dihembuskan sebenarnya hanya "kendaraan" yang membawa kelompok ini menuju panggung politik yang sebenarnya. 

Tak heran, jika nama Rizieq terus diembuskan dan didorong menuju panggung politik, melalui beragam kegiatannya yang lebih banyak bernuansa politis dibanding agama. Isu-isu yang menjerat Rizieq ---baik terkait hukum atau tidak--- semuanya memiliki latar belakang politis, termasuk kasus "baladacintarizieq" yang kuat kesan politisnya.

Nama Rizieq mulai moncer dalam dunia politik, setelah sukses "menumbangkan" Ahok di Pilgub DKI Jakarta tahun lalu. Bukan suatu kebetulan, bahwa dirinya berhasil "memutihkan" Jakarta dan menginisiasi gerakan politik melalui isu-isu agama dengan tujuan melemahkan para lawan politiknya.

Diakui maupun tidak, Rizieq mulai diperhitungkan di dunia politik dan banyak di antara politisi yang kemudian bergabung atau mungkin sekadar "simpatisan" bagi gerakan politik yang dibentuknya. Pengasingannya selama ini dari dunia politik tanah air, semata-mata hanya menyusun dan memperteguh arah gerakan politiknya untuk tujuan kontestasi politik nasional mendatang.

Selama pengasingannya di Tanah Suci, Rizieq seakan menjadi magnet politik yang selalu dikunjungi berbagai pihak, sejak dari mulai utusan parpol, pemerintah, tokoh gerakan 212, kepolisian, ulama dan bahkan mungkin saja utusan khusus presiden! Semua yang bertemu dengan Rizieq, hampir dipastikan terkait dengan Pilpres 2019 dan hampir tak ada kaitannya dengan urusan agama. 

Setiap mereka yang berkunjung ke kediaman Rizieq selalu muncul menjadi berita utama dalam berbagai media. Jika dalam terminologi sufisme ada prosesi "uzlah" di mana mereka tak ingin lagi terikat dengan gemerlap duniawiyah dan ingin menjauhinya, maka "'uzlah" Rizieq justru berbeda, meninggalkan tanah airnya demi sebuah "uzlah politik".

Membaca fenomena Rizieq Syihab bagi saya cukup menarik, terlepas dari berbagai kontroversinya yang tanpa sadar terus menerus dibicarakan publik. Siapa yang tak benci Rizieq? Semua orang justru terpengaruh oleh sikap dirinya yang mampu membakar suasana kebencian tiada tara, sehingga banyak pihak yang pada akhirnya terjebak dalam nuansa kebenciannya sendiri. 

Sebaliknya, siapa yang suka atau mendukung Rizieq? Kita tak bisa menutup mata, bahwa nama Rizieq Syihab ternyata mampu hadir dalam benak hati banyak orang walaupun di tengah sikapnya yang frontal dan kontroversial. Bukankah nama Rizieq juga pernah terjaring dalam bursa capres 2019?

Suka atau tidak, Rizieq memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kancah perpolitikan tanah air. Bagi saya, Rizieq bukanlah orang biasa, melihat dari beragam latar belakang tamunya yang berkunjung ke tempat kediamannya. Bahkan, utusan istana secara khusus, seperti Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Kepala BIN, Jenderal Budi Gunawan pernah secara pribadi bertemu dengan Rizieq ketika dirinya berada di Mekah, Arab Saudi.

Saat ini nama Rizieq masuk dalam bursa capres versi PA 212 yang direkomendasikan bersama deretan nama lainnya yang cukup kompeten maju sebagai capres di tahun 2019. Walaupun disangsikan banyak parpol karena Rizieq tak diusung kekuatan parpol manapun, namun paling tidak, Rizieq dan para pendukungnya cukup diperhitungkan dalam kancah politik. 

Buktinya, PA 212 juga diakui sebagai kekuatan politik yang seringkali disambangi para politisi, bahkan Istana sempat memanggil mereka untuk sekadar membicarakan persoalan-persoalan bangsa dan negara. Diakui maupun tidak, memandang sebelah mata soal kekuatan politik ini, bisa jadi sebuah "kesalahan politik" yang dapat merugikan diri sendiri.

Saat ini, Rizieq Syihab mulai diperhitungkan banyak pihak terlepas dari beragam kasus hukum yang sejauh ini membelitnya. Satu persatu para seteru politiknya mulai "mendekati" dirinya agar dapat bersinergi atau paling tidak mampu mendompleng sekadar memperkuat barisan kekuatan politiknya jelang Pilpres mendatang. Rizieq juga tak akan gegabah untuk begitu saja mencalonkan diri sebagai pilpres, sebelum ada "kepastian" dukungan dari kekuatan-kekuatan resmi partai politik. 

Mereka bukanlah sekelompok orang biasa yang tak paham soal usung-mengusung kandidat atau sekumpulan orang yang dengan sadar membuat manuver-menuver kontroversial ditengah masyarakat. Rizieq tetaplah warga negara dengan segala kekurangan dan kelebihannya, berhak dicalonkan oleh kelompok mana saja sebagai capres atau cawapres sesuai hitungan politik.

Justru saya kira, di akhir-akhir masa penjaringan capres dan cawapres, kemungkinan besar akan muncul nama-nama kandidat yang justru sebelumnya tak pernah dibayangkan.

Sejauh ini, publik hanya disandingkan oleh opini kuat soal satu atau dua kandidat yang itupun hanya beredar dikalangan para elit partai politik. Kalaupun muncul beberapa kandidat lain, itupun karena jasa lembaga survei yang sengaja mempublikasikannya sesuai "permintaan" dan mungkin saja alasan "dukungan". 

Pada akhirnya, Pilpres merupakan wadah penyerap aspirasi masyarakat secara adil, karena hanya rakyatlah yang paling menentukan pada saatnya nanti di bilik-bilik suara. Siapapun kandidatnya, tak ada yang tak mungkin menjadi pihak pemenang atau pecundang. Politik seharusnya memang lebih dinamis, serba memungkinkan, bukan malah alergi terhadap setiap kompetisi seakan tak menerima jika jagoannya mulai dipecundangi lawan.

Sehatlah berpolitik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun