Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Memang, Salat Tarawih Seharusnya di Masjid!

24 Mei 2018   11:42 Diperbarui: 24 Mei 2018   13:44 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu soal salat tarawih yang akan digelar di Monas memang sempat membuat kontroversi. Bukan saja kegiatan ini pada akhirnya dipandang sebagai bukan murni ibadah, karena mungkin saja dimanfaatkan sebagai ajang politik, tetapi yang lebih penting bahwa ide memakmurkan masjid justru tergerus menjadi ide memakmurkan lapangan yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai ibadah itu sendiri. 

Ide memakmurkan masjid dalam konteks peribadatan---termasuk salat tarawih---justru perwujudan dan aktualisasi nilai-nilai agama yang sebenarnya, karena masjid harus dihidupkan oleh segala aktivitas sosial-peribadatan terlebih di bulan Ramadan. Tak ada masjid seramai bulan Ramadan, karena didalamnya ada ta'jil bersama, salat tarawih dan tadarusan.

Sungguh diluar dugaan, jika ide melakukan salat tarawih di lapangan Monas justru terlontar dari pihak pemerintah---dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta. Dengan dalih bahwa menggelar salat di lapangan ini sudah dikomunikasikan dengan ulama, namun tetap saja menuai kritik yang justru datang dari ulama juga. 

Saya kira, ulama yang didasari oleh akal sehat dan bukan hawa nafsunya, sudah pasti akan lebih memilih masjid bukan lapangan dalam rangka menggelar "proyek" salat tarawih sebagaimana diusulkan pemerintah. Walaupun pada akhirnya ide salat di lapangan ini "digagalkan" karena kuatnya desakan dari masyarakat, namun tetap saja menyisakan banyak pertanyaan, soal kenapa lapangan lebih dipilih dan bukan masjid untuk melaksanakan ibadah salat.

Saya justru beranggapan, jika salat tarawih digelar di lapangan Monas, sepertinya salat tarawih seakan-akan menjadi "wajib" dan bukan lagi "sunnah". Bagaimana tidak, mereka yang datang berbondong-bondong memenuhi lapangan Monas untuk salat Tarawih seperti ada dorongan kewajiban untuk mengikutinya. Mungkin saja para jamaahnya tak hanya warga Jakarta, tetapi mungkin saja warga luar Jakarta yang berbondong-bondong menggunakan bis ikut serta meramaikan salat tarawih di Monas. Kontras sekali rasanya, disaat masjid terbesar di Indonesia tepat berada di sebelahnya juga menjalankan salat tarawih, lalu ada sekelompok orang juga melakukan hal yang sama menggelar salat tarawih berjamaah.

Saya malah teringat, sebuah cerita yang berasal dari kisah Umar bin Khatab yang berinisiatif menyatukan banyak kelompok yang melakukan salat di masjid. Suatu malam di bulan Ramadan, dirinya bersama Abdurrahman al-Qari sengaja mendatangi sebuah masjid karena mendengar bahwa di masjid tersebut banyak sekali kelompok-kelompok kecil yang menjalankan salat secara terpisah. 

Lalu, Umar berkata kepada Abdurrahman, "seandainya mereka saya kumpulkan menjadi satu kelompok dan dengan satu bacaan, pasti akan lebih baik". Lalu, atas idenya, Umar menunjuk Ubay bin Ka'ab agar bersedia menjadi imam salat bagi kelompok-kelompok tersebut dalam satu bacaan dan satu jamaah, tidak terpecah-pecah. Cerita inilah yang kemudian dikenal dalam kajian yurisprudensi Islam sebagai sejarah dibakukannya salat tarawih berjamaah di masjid.

Tak adanya ketetapan yang pasti mengenai jumlah rakaat salat tarawih ini, terkadang menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Di Indonesia, umumnya yang menganut 23 rakaat salat tarawih diyakini berasal dari kalangan NU dan yang cukup hanya 11 rakaat kebanyakan disematkan pada  ormas Muhammadiyah. 

Anehnya, salat tarawih zaman now, terkesan malah "hybrid" antara kebiasaan NU dan Muhammadiyah: dijalankan 11 rakaat tetapi dengan bacaan surat yang relatif pendek. Padahal, salat tarawih yang 11 rakaat, biasanya dilakukan waktunya pada sepertiga malam dan dengan bacaan surat yang relatif lebih panjang.

Saya tidak tahu, mana nanti yang akan dipakai Pemprov DKI Jakarta dalam hal salat tarawihnya, apakah cara NU atau Muhammadiyah. Jika cara NU yang dipakai dengan asumsi salat tarawih 23 rakaat, bisa dipastikan akan lebih banyak jamaah mengundurkan diri dan memilih kongkow-kongkow di lapangan sekitar Monas. 

Masyarakat millenial, akan lebih memandang ibadah secara pragmatis, apalagi jika benar-benar terlaksana di gelar di Monas, bukan tujuan ibadah yang dipertontonkan, tetapi malah kericuhan dan kumpulan massa yang pada akhirnya sekadar menghibur diri berjalan-jalan menikmati keindahan Jakarta, lupa terhadap tujuan ibadahnya.

Saya tentu saja mengapresiasi karena Pemprov DKI membatalkan salat tarawih di Monas dan akan dikonsentrasikan di sekitar komplek Masjid Istiqlal. Salat tarawih disini, tentu saja mengikuti cara NU dengan jumlah rakaat 23 dengan bacaan yang durasinya disesuaikan. 

Dengan jumlah rakaat yang 23 sekalipun, banyak sekali mereka yang mundur setelah 8 rakaat dan memilih kongkow-kongkow di depan masjid dan lebih memilih tidak ikut berjamaah hingga tuntas 23 rakaat. Entah bagaimana jadinya ketika salat tarawih nanti jadi digelar pada 26 Mei lusa nanti, apakah akan dibuat kelompok baru lagi ataukah digabung dengan jamaah lainnya dengan tata cara pelaksanaan, baik penunjukkan imam, bilal, atau petugas penceramah (kultum) mengikuti jadwal Masjid Istiqlal.

Disinilah saya kira, jika ibadah "tercampur" oleh hal-hal lain yang mengikutinya sulit untuk dipandang bernilai kebajikan. Ibadah pada akhirnya malah dimanfaatkan sebagai bentuk "show of force" sekadar menunjukkan eksistensi kepada pihak lain, padahal tanpa ditunjukkan melalui peribadatan formal, nilai persatuan dan kesatuan dapat diraih dengan cara mempererat solidaritas keumatan melalui forum-forum sosial non-formal. 

Apalagi salat tarawih yang dipandang ibadah tathowwu' (suka rela), lalu tiba-tiba seakan menjadi "wajib" karena adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kekuasaan "menggerakkan" orang-orang agar mau salat tarawih. 

Nabi Muhammad saja merasa takut akan salat ini menjadi wajib bagi umatnya, sehingga dirinya lebih sering menjalankannya diwaktu sepertiga malam dalam kesendirian di rumahnya.   

Saya malah khawatir, "proyek" salat tarawih yang digagas Pemprov DKI, malah tak memiliki kemanfaatan sama sekali, selain menghamburkan energi atau materi. Alangkah lebih baik, sekiranya proyek-proyek sosial-keagamaan dibuat lebih berdampak langsung kepada masyarakat, seperti bagi-bagi kitab suci al-Quran gratis kepada musala-musala kecil yang masih sangat membutuhkan. 

Sejauh ini, musala seringkali luput dari perhatian pemerintah, karena lokasinya yang terpojok bahkan tersembunyi jauh dari jangkauan elit. Bukankah Ramadan adalah peringatan turunnya al-Quran? Bukan peringatan salat tarawih? Sebagai bentuk penghormatan terhadap hari lahirnya al-Quran, akan lebih manfaat kiranya pemerintah membuat proyek membagi-bagikan al-Quran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun