Dalam tradisi Islam, hampir dipastikan bahwa seluruh peristiwa besar yang terjadi dalam konteks sejarah kehidupan manusia, selalu diperingati melalui aktivitas puasa. Peristiwa Arafah pada 9 Dzulhijjah merupakan hari bertemunya kembali Adam dan Hawa, kemudian dikenang umat Muslim dengan berpuasa setiap tanggal itu. Bulan Muharram yang setiap tanggal 10 disebut memiliki sejarah penting soal terbebasnya Bani Israil dari kezaliman Firaun, juga diperingati dengan berpuasa.Â
Kebiasaan Nabi Muhammad berpuasa pada setiap hari Senin dan Kamis juga semata-mata karena suatu peristiwa penting pada dua hari itu, sehingga dirinya memperingati dengan cara berpuasa.
Betapa pentingnya memperingati suatu peristiwa, sehingga hal ini menjadi kebiasaan yang membudaya bahkan dihampir semua agama, termasuk Islam. Dalam Islam, sikap menghormati suatu peristiwa, seringkali diperingati melalui aktivitas berpuasa.Â
Tradisi memperingati dengan cara berpuasa ini jelas mengajarkan kesederhanaan dan sikap tunduk seseorang kepada Tuhan. Itulah kenapa, mengadakan peringatan terkait sebuah peristiwa didalamnya, merupakan bagian dalam tradisi Islam, bahkan telah hadir sejak dahulu. Al-Quran sendiri menyebut: "Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat" (QS. 87:9).
Ketika agama mengajarkan bahwa setiap peringatan itu bermanfaat, masih saja ada sekelompok orang yang justru alergi terhadap peringatan. Sungguh amat beruntung umat Muslim yang selalu mengingatkan dengan cara memperingati suatu peristiwa besar, entah itu Maulid Nabi, Isra Mi'raj, Tahun Baru Islam, atau peristiwa apapun terkait dengan tradisi, budaya, atau kepercayaan masyarakat.Â
Agama tentu saja mengajarkan pentingnya memperingati suatu peristiwa, karena melalui peringatan, terdapat banyak pelajaran penting yang sangat berharga dan bermanfaat.
Tak terkecuali aktivitas puasa Ramadan, tak dapat dilepaskan karena memperingati turunnya al-Quran. Memperingati suatu peristiwa dengan berpuasa, umumnya tak kurang dari satu atau dua hari, kecuali Ramadan yang dijalankan selama satu bulan. Hal ini karena peristiwa yang terjadi pada bulan itu, sesuatu yang istimewa dan sangat luar biasa.Â
Perintah berpuasa pada bulan Ramadan kepada seluruh umat Muslim, semata-mata bukanlah sekadar cara mendisiplinkan setiap pribadi dengan membatasi atau mengatur "keinginan liar" akibat dorongan hawa nafsu, tetapi jauh dari itu agar senantiasa mengingat bahwa Ramadan merupakan bulan diturunkannya al-Quran.
Al-Quran merupakan "bacaan" (qur'aanan) sesuai dengan makna kebahasaanya. Namun ia juga  merupakan "kumpulan" dari berbagai "bacaan" (kitab suci) sebelumnya, sehingga al-Quran merupakan kitab suci yang terkumpul didalamnya hukum, pelajaran hidup (mau'idzah), moral, peristiwa sejarah, dan dilengkapi oleh sekelumit "rahasia" yang mampu menggugah bahkan mengantarkan setiap orang mendapatkan lebih banyak petunjuk dibandingkan dengan kitab suci lainnya.Â
Keistimewaan dan keagungan al-Quran bahkan, tak pernah tunduk, bertekuk lutut, atau tenggelam diantara para pengkritiknya. Al-Quran seperti permata yang memantulkan sinarnya dari berbagai sisi, dikritik, dibicarakan, digali maknanya, bahkan dihina sekalipun, tetap memantulkan cahanya sebagai jawaban yang hadir di setiap perubahan zaman.
Al-Quran yang turun kepada Nabi Muhammad dalam redaksi bahasa Arab, tak sedikitpun mengalami perubahan, bahkan sekadar satu huruf-pun. Bahasa Arab bahkan pada akhirnya menyatukan seluruh umat Muslim di dunia, karena mereka salat, dzikir, dan membaca al-Quran seluruhnya menggunakan redaksi bahasa Arab secara seragam.Â
Bukan suatu kebetulan, bahwa Tuhan memilih al-Quran dengan bahasa Arab, karena kekayaan dan kompleksitas makna kebahasaannya, serta bahasa yang pada waktu diturunkannya masih "suci" belum terkontaminasi elemen bahasa-bahasa lainnya.
Sudah berapa banyak kajian ilmiah yang mengungkap keagungan makna yang terkandung dalam al-Quran atau bahkan seberapa besar keinginan segelintir orang untuk menumbangkan bahkan menguji kehebatan kitab suci umat Muslim ini. Tak terhitung jumlahnya mereka yang mengungkap keistimewaan al-Quran melalui pendekatan beragam disiplin keilmuan.Â
Al-Quran tetap kokoh tak ada perubahan sedikitpun, tetap hadir sesuai aslinya sejak diturunkannya kepada Nabi Muhammad hampir 15 abad lamanya. Pembahasan yang mengatasnamakan al-Quran tak pernah kering atau habis, senantiasa mengalir sepanjang zaman. Al-Quran bak aliran air yang memenuhi setiap rongga tanah yang kekeringan, terus membasahi dan mengurangi rasa dahaga siapapun.
Puasa Ramadan seringkali luput dari peristiwa maha besar yang mengitarinya. Lupa bahwa sesungguhnya inilah aktivitas puasa sebagai peringatan atas turunnya al-Quran. Bukan tidak menutup kemungkinan, al-Quran malah lebih banyak digali maknanya, dikritik, bahkan dipelajari secara ilmiah oleh mereka yang tidak berpuasa.Â
Umat Muslim sendiri cenderung lebih banyak yang melupakan al-Quran, jangankan memahami makna yang terkandung didalamnya, membacanya saja masih banyak yang mengalami kesulitan. Kita diingatkan setiap tahun-pun bahwa puasa Ramadan adalah peringatan turunnya al-Quran, tetap luput dan hanya mampu mengingat puasa sebagai bentuk aktivitas menahan diri dari makan, minum, dan lainnya.
Puasa Ramadan bukan sekadar menahan dari aktivitas makan dan minum, tetapi yang terpenting kita difokuskan pada peristiwa bersejarah dimana kitab suci al-Quran diturunkan. Tak ada yang lebih mengistimewakan berpuasa di bulan Ramadan, kecuali peristiwa diturunkannya al-Quran. Malaikat Jibril atas izin Allah menyalin dan merekam seluruh al-Quran dari Lauh al-Mahfudz dan membawanya turun ke Bait al-Izzah di langit dunia dan bukan secara kebetulan, kitab suci ini turun pertama kalinya pada malam kemuliaan (lailatu al-qadr) di bulan Ramadan. Lalu, Jibril secara bertahap menyampaikannya melalui lisan Nabi Muhammad selama 23 tahun, terhitung 10 tahun di Mekah dan 13 tahun di Madinah.
Inilah bulan yang diabadikan sebagai bentuk peringatan bahwa al-Quran pada suatu malam di bulan Ramadan ini diturunkan langsung kepada Nabi Muhammad melalui kurir Allah bernama Jibril. Allah memerintahkan untuk berpuasa selama satu bulan sebagai bentuk penghormatan atas turunnya kitab suci al-Quran yang secara bertahap diterima oleh Nabi Muhammad dalam rentang waktu 23 tahun.Â
Seluruh redaksional al-Quran tetap suci, terjaga dari berbagai polusi bahasa, atau bahkan ketika ada upaya-upaya lain yang hendak merubahnya.Â
Inilah bukti, bahwa al-Quran merupakan sebenar-benarnya kitab suci yang penjagaannya langsung berada ditangan sang Maha Agung. Jika memang kita luput menjangkau kedalaman maknanya, paling tidak kita selalu sadar dan diingatkan, bahwa puasa Ramadan adalah momen terbaik setiap Muslim bercengkrama dan bergumul dengan al-Quran, tidak hanya sebatas berkenalan. Wallahu a'lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H