Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Puasa di Antara Historisitas dan Ritualitas

16 Mei 2018   10:13 Diperbarui: 16 Mei 2018   17:13 2189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: dreamstime.com

Bagi umat muslim, puasa yang diwajibkan setiap bulan Ramadan tidak sekadar sebuah ritualitas ibadah yang dimaknai dengan menahan diri dari aktivitas makan, minum di siang hari, berbicara yang tidak perlu, atau aktivitas lainnya yang dapat merusak nilai puasa itu sendiri. Secara keseluruhan, puasa justru upaya sungguh-sungguh (jihad) dalam hal mengendalikan bahkan memerangi hawa nafsu. 

Selain di bulan Ramadan, hampir setiap manusia tanpa sadar menjadi budak, bertekuk lutut dan menghambakan diri kepada hawa nafsunya sendiri. Itulah kenapa, secara historis, aktivitas puasa justru adalah tradisi "menahan diri" yang hadir dalam sepanjang realitas sejarah kemanusiaan, dibawa dan diperkenalkan para nabi kepada umatnya, bertujuan mengekang dan mengendalikan segala hasrat keinginan yang berasal dari nafsunya sendiri.

Mengekang kebebasan diri dan keinginan seseorang melalui puasa, memang hanya mampu dipahami dan diaktualisasikan oleh mereka yang beriman (the community of believers). Oleh karena itu, ayat al-Quran dalam konteks berpuasa, menyeru kepada hanya orang-orang beriman. Iman merupakan hiasan yang ditanamkan Tuhan kepada setiap manusia, sehingga muncul dorongan dalam dirinya, menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 

Keimanan adalah wujud rasa cinta (hubb) terhadap Allah, sehingga ketaatan dirinya semata-mata karena kecintaan kepada-Nya bukan karena adanya dorongan lain.

Dalam ayat 183 surat al-Baqarah disebutkan bahwa kewajiban berpuasa bagi orang-orang beriman merupakan rangkaian historis yang juga diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".

Ayat diatas belum terkait dengan puasa Ramadan, tetapi sebatas informasi yang menjelaskan bahwa kewajiban berpuasa erat kaitannya dengan tradisi masa lalu. Puasa secara historis, kemungkinan merujuk pada suatu upaya "menahan diri dari segala aktivitas apapun dengan cara lebih banyak diam", tidak sekadar menahan diri dari makan dan minum. 

Puasa yang disyariatkan, kemudian mengatur secara khusus soal tata cara pelaksanaannya. Dalam terminologi syariat, puasa harus didahului niat, kemudian mengkhususkan menahan diri dari makan, minum, atau berhubungan suami-istri yang waktunya dimulai sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

Menahan diri dari makan dan minum dalam waktu tertentu kenyataannya sangat efektif dalam mencegah hal-hal buruk yang muncul secara spontan dari dorongan nafsu kemanusiaan. 

Tuhan tak akan menyuruh manusia berpuasa dari makan dan minum, jika setiap orang mampu menahan dirinya dari berkata buruk, berbuat atau melakukan hal-hal yang merugikan atau merusak. 

Hal inilah yang dimaksud oleh ungkapan Nabi Muhammad, "Siapa yang tidak mampu mencegah dari perkataan, perbuatan, atau sikap yang buruk, maka Allah tidak perlu lagi (memerintahkan) agar setiap orang menahan diri mereka dari makan dan minum". (HR Bukhari)

Puasa memang selalu terkait dengan peristiwa historis, baik itu tradisi keagamaan maupun peristiwa luar biasa yang kemudian dikukuhkan dan diperingati melalui serangkaian aktivitas puasa. Sebelum syariat berpuasa di bulan Ramadan ditetapkan, umat Islam berpuasa mengikuti kebiasaan dan ajaran agama terdahulu. 

Puasa pada bulan Muharram ('Aa-Syuraa'), misalnya menjadi tradisi kaum Quraisy dan juga kalangan Yahudi sebagai bentuk "peringatan" atas selamatnya Bani Israil dari kezaliman Fir'aun. Selain itu, kewajiban berpuasa selama tiga hari disetiap pertengahan bulan, juga menjadi tradisi puasa di awal-awal perkembangan Islam.

Kewajiban berpuasa sebelum ditetapkannya bulan Ramadan, awalnya sekadar "pilihan", dimana bagi mereka yang tidak melakukannya (karena memberatkan atau hal lainnya) dapat menggantinya dengan membayar sedekah kepada fakir miskin (fidyah) atau berbuat baik, yang disesuaikan dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan.

Hal ini sebagaimana disebut dalam surat al-Baqarah ayat 184: "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya".

Kewajiban puasa masa lalu sekadar dilakukan secara "sukarela" dengan memilih antara berpuasa atau bersedekah, kemudian "dihapus" (mansukh) dengan turunnya kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan. 

Lagi-lagi, sisi historis puasa Ramadan, erat kaitannya dengan peringatan sebuah peristiwa besar dan luar biasa, karena bulan Ramadan merupakan bulan dimana diturunkannya al-Quran dan juga kitab-kitab suci lainnya. 

Sebuah peristiwa penting dalam tradisi Islam, selalu diperingati dengan cara berpuasa. Maka tak heran, ketika Nabi Muhammad ditanya tentang dirinya yang senantiasa berpuasa pada hari Senin dan Kamis, ia menyebutkan bahwa Senin merupakan hari dimana dirinya lahir dan Kamis merupakan hari dimana seluruh catatan amal manusia diserahkan kepada Allah.

Perintah melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadan, sekaligus menghapus tradisi puasa yang diwajibkan sebelumnya. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, syariat puasa sudah ada sejak zaman Nabi Nuh, hingga kemudian diwajibkannya seluruh orang beriman untuk berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan. 

Dalam al-Quran disebut secara jelas: "Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu".

Para ahli bahasa, ketika menjelaskan makna "syahrun" (bulan) secara garis besar bermuara pada dua pendapat. Pertama, bulan merupakan istilah yang menunjukkan pada jenis waktu yang diawali dengan perwujudan hilal secara jelas atau hal yang membuatnya tersembunyi atau tidak terlihat. 

Umumnya, bulan yang telah diketahui waktunya dipergunakan sebagai "penanda" untuk memulai suatu perniagaan (muamalah) atau untuk satu kebutuhan lainnya. 

Kedua, yang dimaksud adalah bulan itu sendiri, berdiri sendiri. Itulah kemudian kenapa bahwa puasa Ramadan wajib "ditandai" oleh hadirnya "hilal" yang ditetapkan kemudian sebagai waktu dimulainya berpuasa sebagaimana persaksian seseorang yang jujur, adil, muqim (penduduk setempat), dan persyaratan lainnya.

Namun demikian, perbedaan soal persaksian hadirnya hilal, terkadang terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, walaupun melihat hilal secara jelas dalam konteks penentuan awal bulan merupakan pendapat yang paling kuat dan dijalankan oleh kebanyakan para ulama. 

Berpuasalah ketika hilal disaksikan sebagai "penanda" masuknya bulan baru dan akhiri aktivitas berpuasa ketika hilal sudah mulai tidak tampak karena akan dimulainya masuk awal bulan baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun