Salah satu poin terpenting dari hasil ijtima ulama se-Indonesia yang digelar komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Banjarbaru, Kalimantan Selatan adalah masjid dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pembedayaan masyarakat, termasuk politik keumatan. Ini artinya, masjid dapat difungsikan sebagai penguat solidaritas, membangun semangat persatuan dan kesatuan umat dalam bingkai besar kepolitikan.
Aktivitas politik, tidak dilarang di masjid, karena nilai-nilai substantif didalamnya yang dapat mengajak kepada kebaikan (amar ma'ruf) dan mencegah keburukan (nahi munkar). Yang dilarang adalah "politisasi", memanfaatkan masjid sekadar sarana dukung-mendukung politik seraya mengumbar keburukan kelompok lain yang berseberangan.
Berpolitik dalam tema besar negara-bangsa tentu saja dibolehkan ---jika tidak diwajibkan---mengingat substansi dan nilai-nilai kepolitikan harus senantiasa dipahami dan dijalankan sebagai model keumatan yang memperkuat, memperkokoh, dan mempersatukan. Substansi politik adalah bagaimana para pemimpin mampu mempersatukan seluruh umat, bukan mencerai-beraikannya, sehingga seharusnya jauh dari nuansa perebutan kekuasaan.
Jika politik praktis sekadar praktik dukung-mendukung, bersifat parsial dan kekelompokkan, maka fatsoen politik berarti suatu aktivitas politik yang bermartabat, sepi dari dukung-mendukung kelompok atau kandidat tertentu, universal karena ada nilai-nilai bersama yang diperjuangkan.
Ramainya soal larangan bicara politik di masjid, seakan mempertontonkan sebuah pobia terhadap agama, khususnya Islam. Entah, kenapa di negara yang mayoritas muslim seperti di Indonesia, malah seakan tercipta suatu pobia yang menakutkan, dimana umat Islam seakan "dilarang" berpolitik, melalui intervensi penguasa terhadap masjid-masjid.
Sepanjang yang saya tahu, sejarah bangsa ini justru dibangun berdasarkan kesepakatan dan keinginan bersama memajukan seluruh komponen bangsa yang sedikitpun tak lepas dari nuansa religiusitas. Perwujudan yang paling nyata adalah pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai bingkai besar "keumatan" yang digagas dan disepakati seluruh elemen bangsa untuk membangun, memperkokoh, dan tentu saja mempertahankan NKRI.Â
Larangan berbicara politik di masjid, seperti bentuk arogansi penguasa yang melanggar hak kebebasan berpendapat masyarakat yang telah dijamin sebelumnya oleh undang-undang.
Jika dulu, di masa Orde Baru, penguasa begitu kuat cengkramannya dalam menciptakan pobia dan hegemoni politik dengan "memaksa" masyarakat mengikuti kemauan mereka, lalu apa bedanya dengan masa kini jika masih saja mempersoalkan kebebasan berpendapat?
Sungguh sebuah kemunduran dalam berdemokrasi, jika bicara saja dilarang, terlebih memilah-milah tempat pelarangannya, seperti di masjid. Adakah di tempat ibadah lain juga dilarang bicara politik?
Sungguh sangat naif, ketika masjid fungsinya hanya sekadar tempat salat berjamaah, lalu setelah selesai setiap orang membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. Masjid tentu saja tidak sesederhana itu fungsinya, karena merujuk pada sejarah awalnya, masjid adalah simbol keumatan, pemersatu solidaritas sosial, tempat bertukar pikiran dan pendapat, termasuk didalamnya berdiskusi soal agama, sosial, dan politik.
Nabi Muhammad ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Madinah, yang dilakukan pertama kali adalah membangun masjid dan menjadikannya sebagai pusat pemberdayaan umat, tidak sekadar tempat salat.