Lalu, tiba-tiba, seusai pengajian, ustaz yang menyampaikan materi tersebut lalu didatangi pihak aparat dan mereka memeriksa kitab yang dibacakan. Aneh memang, padahal di hampir seluruh kajian fiqih klasik, bab jihad pasti ada dan hampir tak ada satupun yang berbicara soal perang secara fisik atau menjelaskan soal makar terkait pemerintahan yang sah. Jihad, bagi saya, adalah upaya sungguh-sungguh dalam memerangi keterbelakangan, kemiskinanm dan kebodohan ditengah masyarakat, bukan berarti perang!
Lagi-lagi, aroma bau tengik politik malah memudarkan wangi kesturi Ramadan, sehingga masa ini sulit sekali untuk berjuang memberikan pencerdasan kepada masyarakat. Politik seharusnya tidak dipersempit hanya sebatas pergantian kekuasaan, previlage, gengsi atau semacamnya yang justru menggusur seluruh nilai kebaikan yang ada dalam aktivitas politik itu sendiri.Â
Padahal, negara ini justru dibangun berdasarkan penyatuan substansi politik dengan realitas keagamaan, keduanya berjalin kelindan dalam wujud sikap dan prilaku masyarakatnya yang diabadikan dalam UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Diakui maupun tidak, agama menjadi penopang kehidupan politik di negeri ini dan itu jauh sebelum NKRI ini lahir.
Kita patut meniru negeri tetangga Malaysia yang sukses mengantarkan politik pada tatanan yang cukup bermartabat. Tanpa huru-hara, tanpa politisasi, tanpa kebencian, sukses mengantarkan politikus Gaek, Mahathir Muhammad kembali menduduki jabatan perdana menteri. Malaysia bukan negara demokrasi, tapi mampu menghadirkan fatsoen politik tanpa dikotori oleh gontok-gontokan, saling tuding atau saling fitnah antarkekuatan faski politiknya.Â
Malaysia sama dengan Indonesia, negeri yang mayoritas berpenduduk muslim, tetapi sejauh ini mampu menempatkan agama sebagai penopang proses politik secara baik dan bermartabat. Tak ada isu politisasi masjid apalagi menunggangi masjid menjadi ajang aktivitas dukung-mendukung kekuasaan.
Indonesia negara demokrasi, bukan negara agama apalagi negara sekuler. Maka, jika ada saja segelintir orang ingin menjadikan negeri ini menjadi negara agama atau sekuler, maka siap-siap saja terusir dari negerinya sendiri karena sama halnya mengingkari kesepakatan yang telah lebih dulu dibuat oleh para pendahulu kita. Politik jangan membuat sebagian orang malah alergi, lalu memunculkan sikap pobia terhadap agama atau kelompok tertentu.Â
Disisi lain, politik juga bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan yang dikotori oleh kebencian, sikap intoleran, atau merasa diri paling benar dan yang lain salah. Momentum Ramadan yang tinggal beberapa hari, seharusnya dapat dimaknai sebagai perekat solidaritas keumatan, menjauhi praktik-praktik prasangka yang berlebihan, apalagi terus menyeret praktis politik dalam ruang keagamaan yang pada akhirnya mencemarkan aroma tengik ditengah umat muslim sedang mencium wanginya Ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H