Zaman now, politik senantiasa diekspresikan secara unik, tidak hanya diramaikan oleh meme-meme menarik, tagar yang menyebar di media sosial, dan yang sedang ramai adalah kaos bertuliskan "GantiPresiden".Â
Politik memang terkait dengan pernak-pernik bisnis, dari mulai spanduk, pamflet, pin, topi, hingga kaos yang justru menjadi lahan keuntungan tersendiri bagi para pebisnis politik musiman. Tak terkecuali ajang pilpres 2019 kali ini, bisnis kaos yang seakan menjadi ajang propaganda politik, semakin laku di pasaran bahkan bisa saja menggusur ideologi politik yang sesungguhnya, lebur kedalam simbolisasi politik yang tak ada artinya.
Pernak-pernik politik dalam ruang publik memang lebih banyak mewujud dalam bentuk simbolisasi  yang pada akhirnya dipergunakan secara instan sebagai sarana dukung-mendukung setiap kontestannya. Peristiwa Car Free Day (CFD) minggu lalu yang menggambarkan betapa simbolisasi menjadi semakin penting, menunjukkan politik seperti hanya milik para pedagang kaos yang ramai mendapatkan pesanan, berkompetisi untuk menawarkan harga murah pada khalayak.Â
Anehnya, para pemakai kaos-pun bangga dan merasa bagian dari pendukung politik salah satu kandidat, seraya tanpa sadar "mengintimidasi" para pendukung lainnya yang berseberangan "kaos"nya.
Politik pada akhirnya jatuh, hanya sekadar "dagang kaos", bukan dagang ideologi, visi-misi kepolitikan, program kerja, atau apa saja yang terkait dengan konsepsi politik-kekuasaan. Yang lebih mengharukan, politik dagang kaos justru seperti politik dalam ranah kekuasaan sebenarnya, karena kaos menjadi "identitas" bagi citra politik pemakainya.Â
Mereka yang berkaos beda, justru dianggap asing, orang luar, bukan golongan mereka, padahal kaos dan pemakainya tidak mencerminkan pretensi politik apapun, hanya sekadar busana pembalut badan dengan warna, tulisan, atau gambar yang tak lebih dari wilayah selera yang berbeda-beda. Politik kaos bukan hanya kekerdilan politik, tapi sama halnya dengan kembali mengedepankan simbol dan lupa akan substansi kepolitikan itu sendiri, sebagai jalan bersama menempuh realitas yang adil dan makmur.
Bagi saya, perbedaan tentu saja "sunnatullah" dan fitrah kemanusiaan sebagai sesuatu yang tak mungkin terbantahkan dalam realitas kehidupan manusia, termasuk didalamnya perbedaan politik. Namun kenyataannya, banyak yang sulit menerima perbedaan, enggan menjalankan substansi politik sebagai ajang "persamaan" dan lebih banyak mengedepankan soal perbedaan didalamnya.Â
Politik diaktualisasikan sebatas simbol yang pada akhirnya seringkali mempertontonkan perbedaan daripada persamaannya. Itulah kenapa, ruang kepolitikan di negeri ini selalu saja sesak oleh simbolisasi, labelisasi, atau "koncoisasi" dan sepi nilai-nilai, subtansi, dan kebersamaan.
Simbolisasi terhadap politik yang marak jelang pilpres seharusnya hanya sekadar "penjelas", bahwa mereka adalah pendukung si Anu dan perlu diperjelas oleh nama kandidatnya langsung, siapa yang sebenarnya diusung mereka. Jika hal yang seharusnya menjadi "penjelas" yang digaungkan lewat simbol, tetapi yang disimbolkan belum jelas, ini sama halnya dengan politik dagang yang tak memiliki makna apa-apa, hanya para tukang kaos yang mengeruk banyak keuntungan di tahun politik ini.
Bagi saya, jangan mendukung kaos dalam hal politik, tapi dukunglah visi-misi para kandidatnya, perbesar cara pandang dalam mengkritik setiap program kerja yang ditawarkannya, atau lihatlah secara jelas apa yang telah diberikannya untuk kemanfaatan bangsa dan negara.Â