Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres dan "Maqam" Politik

27 April 2018   10:31 Diperbarui: 27 April 2018   10:46 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: nasional.kompas.com

Tingkat berikutnya dalam kategori sufisme adalah "ma'rifat", dimana kecenderungan terhadap simbol mulai disamarkan, mengintip dan mencoba masuk ke "sisi terdalam" sebuah entitas keagamaan. Kategori ini masuk dalam tingkat "pertengahan", yang terkadang masih dipengaruhi  simbol, walaupun sinyalnya tampak melemah. 

Dalam dunia politik, kelompok ini mungkin tidak begitu besar jumlahnya, tetapi cukup memiliki pengaruh, karena kepiawaian mereka mengajak masyarakat melalaui serangkaian kegiatan positif, memberi contoh yang baik, tak banyak bicara yang tidak perlu, dan cenderung menahan diri untuk tidak terlampu menunjukkan keinginannya secara terbuka dalam konteks kekuasaan.

Saya kira, konsep "ma'rifat" politik, akan lebih mementingkan "tujuan" daripada "jalan" yang harus ditempuh dalam konteks memperoleh kekuasaan. Mereka tak lagi diliputi rasa ketakutan yang ekstrim, karena siapapun yang akan mencapai kesempurnaan dalam hal politik---menjadi presiden misalnya---tetaplah cermin dari tujuan kebaikan itu sendiri. Kelompok yang masuk dalam kategori ini, mengaktualisasikan politik secara "salik" (terukur, berdasarkan pengetahuan) dan mengedepankan nilai fatsoen politik yang dipahaminya. 

Dalam sebuah ajang kontestasi nasional, kita mungkin dapat menilai, siapa-siapa saja tokoh masyarakat yang masuk dalam kategori ini, melihat dari tindak-tanduknya yang mengapresiasi segala kebaikan yang ditimbulkan oleh aktivitas politik. Kelompok ini tak suka menuduh, menjatuhkan pihak lain, atau menunjukkan dukungan atau penolakan secara terbuka terhadap setiap kontestan yang ada.

Seseorang yang telah mencapai tingkatan "ma'rifat" tentu akan lebih mudah mengurai seluruh dimensi kehidupannya dalam memaknai "hakikat" sebagai entitas tertinggi dari maqam sufistik. Ketika "syariat" dan "ma'rifat" telah menyatu dalam dirinya, maka dunia hakikat akan lebih mudah diungkap sehingga memahami secara baik, mana yang penting dan mana yang tidak. 

Agak sulit jika menghubungkan dunia politik pada capaian tertinggi dengan konsep "hakikat" yang diaktualisasikan oleh maqam sufistik, karena politik bersifat duniawiyah, mengejar keuntungan-keuntungan yang bersifat materi: kekuasaan, jabatan, kedudukan, yang tak ada dalam realitas sufisme. Oleh karenanya, dunia politik dan representasi orang-orang yang berkecenderungan terhadap kekuasaan didalamnya, paling mungkin hanya dapat dipotret dalam realitas "syariat" dan "ma'rifat".

Tidak berlebihan saya rasa, jika konsep sufisme ditarik dalam ranah politik untuk menggambarkan kriteria-kriteria tokoh-tokohnya yang semakin ramai diperbincangkan publik. 

Ada politisi kawakan Amien Rais, yang tampak gemar mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial dibalik keinginannya agar ada rotasi kekuasaan: mengganti penguasa lama ke penguasa baru. Tak jarang, Amien menyisipkan "simbolisasi" agama yang kemudian diamini oleh kelompok pendukungnya. Ada juga tokoh yang tak mementingkan simbol, tetapi mencoba merangkul berbagai pihak, bergerilya demi tujuan "kebaikan" politik, baik dengan cara bertemu dengan lawan maupun pendukungnya. Jokowi, nampaknya bisa masuk dalam contoh seperti ini.

Tak sulit saya kira, menilai berbagai kalangan yang masuk dalam jenjang kepolitikan sebagaimana diungkap dalam realitas maqam sufisme. Mereka yang gandrung dengan simbol-simbol dan lebih gemar memperlihatkan "kulit", menonjolkan dan memperlihatkannya kepada publik, tanpa peduli terhadap "isinya", cukup mewakili maqam "syariat" politik sebagaimana direpresentasikan dalam dimensi sufistik. 

Di sisi lain, ada yang kurang memperhatikan simbol, tetapi mulai "mengintip" isi bahkan tak peduli lagi dengan "kulit" yang melingkupinya. Mereka cenderung memahami dunia politik sebagai sebuah "tujuan", bukan lagi "jalan" atau "cara". Meskipun nihilisme terhadap simbol belum sepenuhnya hilang, namun nilai kebaikan dari substansi kekuasaan politik, tetap menjadi tujuan utama dalam mengaktualisasikan dirinya dengan dunia politik. 

Jadi, publik dapat menilai, siapa yang masih sekadar "syariat" dan mana yang telah mencapai "ma'rifat" dalam mengartikulasikan politik. Menarik atau tidaknya, sesuai darimana anda memandangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun