Tensi politik jelang pilpres 2019 terus naik, bukan saja karena fenomena perebutan kursi kekuasaan, tetapi hal-hal diluar itupun tampak seakan menjadi bagian dari rangkaian isu yang terus menggenjot naiknya suhu kepolitikan.Â
Setelah isu tenaga kerja asing yang sempat ramai dan mendapatkan penolakan dari parlemen, soal "pengajian politik" yang digelar di Balai Kota Jakarta yang menuai kritik, sampai kasus penghinaan Nabi Muhammad yang dilakukan oknum kader parpol, semakin membuat dunia politik tampak memanas.Â
Jika dalam terminologi sufistik ada jenjang peribadatan yang distratifikasi melalui beberapa "maqam" (tingkatan), maka sama halnya dalam soal perebutan kekuasaan, ada "tingkatan" yang mengaktualisasikan tujuan-tujuan politik mereka.
Dalam kajian sufistik, tingkatan terendah sesorang dalam mengaktualisasikan dirinya dalam memperoleh kesempurnaan adalah "syariat". Syariat dalam hal ini merupakan jalan yang ditempuh untuk memperoleh kesempurnaan bagi seseorang hanya saja masih menggunakan simbol-simbol atau cenderung sekadar mengaktualisasikan "sisi terluar" dari ajaran agama yang dipahaminya.Â
Tak ubahnya dalam dunia politik, kita bisa menilai, ketika masih banyak orang yang cenderung menganggap pentingnya sebuah "simbol", lalu ditunjukkannya kepada orang lain sebagai kebanggaan agar orang lain dapat terpengaruh untuk mengikutinya, maka tak ubahnya seperti gambaran tingkatan terendah dalam dimensi sufisme, yaitu "maqam" syariat.
Tidak menutup kemungkinan, mereka yang berada pada tingkatan "syariat" politik, akan tampak  mementingkan bahkan mengagungkan simbol, entah itu dalam bentuk retorika keagamaan, menguatnya tokoh kharismatis, atau sekadar atribusi kekelompokkan yang dipergunakan sebagai "jalan" dalam memperoleh kekuasaan.Â
Pada tataran "syariat" politik, simbol menjadi penting untuk ditunjukkan demi tercapainya sebuah tujuan, bahkan kadang melupakan hal-hal lain yang lebih dahsyat dari sekadar simbol itu sendiri.Â
Nuansa "syariat" politik---saya kira---tampak paling menguat belakangan ini dan lebih banyak berseliweran dalam ruang-ruang publik, mewujud dalam hal narasi atau agitasi politik yang seringkali malah menjengkelkan.
Bisa jadi, kelompok ini justru merupakan representasi terbanyak, karena simbol seringkali dijadikan alat paling ampuh untuk memenangkan sebuah kontestasi politik.Â
Simbolisasi politik yang kemudian hadir dalam bahasa agama, artikulasi busana, atau agitasi dalam bentuk "meme", atau apapun yang dapat mempengaruhi setiap orang yang gandrung terhadap simbol.Â
Tokoh-tokoh kunci dalam maqam "syariat" politik, sudah tentu akan menyebarkan atau membuat pernyataan yang lebih mementingkan simbol daripada tujuan politik itu sendiri. Kita mungkin mudah menilai, siapa-siapa saja yang masuk dalam tingkatan politik seperti ini, terlebih setelah menyaksikan, sesaknya narasi politik oleh bahasa-bahasa agama yang "disimbolisasikan" demi tujuan-tujuan kekuasaan.