Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menakar Partai Oposisi yang Tak Pernah Serasi

23 April 2018   16:45 Diperbarui: 24 April 2018   09:11 2281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Oposisi (Samuel/UCEO)

Perhelatan ajang tahun politik yang semakin dekat, tak serta merta membuat partai-partai oposisi menguat, entah membentuk poros baru atau memperkokoh kekuatan politik yang sudah ada. Partai Gerindra yang telah resmi berkoalisi dengan PKS, tak kunjung mendeklarasikan siapa yang akan diusung menjadi capres. Memang, kedua parpol ini masih terganjal persyaratan presidential treshold, karena paling tidak harus ada satu parpol lagi yang mau bergabung jika ingin persyaratan itu terpenuhi. 

Di pihak lain yang juga beroposisi, Partai Demokrat hanya mampu mengedepankan wacana kemunculan capres baru yang "Insya Allah" meramaikan bursa pilpres 2019 mendatang.

Entah, bagaimana caranya partai-partai oposisi ini menjadi semakin solid, yang tergambar hanya penjajakan demi penjajakan yang tampak rumit dan berbelit-belit. PKS malah kelihatan tak sejalan, dimana mantan presidennya bahkan telah lebih dulu mendeklarasikan dirinya sebagai capres alternatif, entah apakah diusung resmi oleh partai atau tidak. Anis Matta, baru-baru ini dideklarasikan oleh kelompok Anis Matta Pemimpin Muda (AMPM) sebagai calon presiden 2019, padahal, PKS sebelumnya hanya sebatas meminta "jatah" cawapres untuk Prabowo yang diusung parpol koalisi oposisi.

Partai Demokrat, kelihatannya masih sulit move on dari kekuatan parpol koalisi pemerintah, karena terus melakukan penjajakan, agar Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mau dilirik oleh parpol koalisi agar dijadikan pendamping Jokowi di bursa pilpres nanti. 

Secara internal kepartaian, wacana untuk membentuk "poros ketiga" terus disuarakan oleh Roy Suryo, karena dalam beberapa kali pernyataannya, justru seakan Demokrat enggan berkoalisi dengan PDIP dan juga menolak jika harus bergabung dalam koalisi oposisi yang mengusung capres Prabowo Subianto. Akibatnya, Roy dipaksa "diam" oleh SBY dan dilarang mengeluarkan pernyataan yang membingungkan.

Disisi lain, PAN yang masih belum jelas arah politiknya---tak jauh berbeda dengan Demokrat---justru selalu digaduhkan oleh pernyataan-pernyataan tokoh seniornya yang menuai kontroversi di tengah masyarakat. Seakan ada ketidakserasian antara politisi "senior" dan "junior"nya, kearah mana sebenarnya dukungan politik mereka pada akhirnya dilabuhkan. Jika memang ada "kecocokan" ideologi politik dengan koalisi parpol oposisi yang diinisiasi Gerindra-PKS, seharusnya sudah sejak lama PAN berada dalam kubu ini, tidak "setengah hati" seperti saat ini.

Mencermati gelagat politik partai oposisi sejauh ini memang selalu menarik, karena selalu saja ada hal baru, mengingat mereka belum sepenuhnya bersepakat, siapa yang paling pantas dijadikan capres untuk melawan petahana. Nama-nama alternatif yang sempat muncul, seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, atau TGB Zainul Majdi, lambat laun semakin tenggelam oleh hiruk-pikuk parpol oposisi yang semakin tak serasi. Masing-masing "jaim" dengan kengototannya sendiri-sendiri, sulit sekali untuk menjadikan mereka sebagai "power of opposant" dalam menghadirkan calon alternatif yang mampu diterima semua pihak.

Mereka nampaknya sibuk memperhatikan dan mengamati elektabilitas survei yang setiap harinya selalu berbeda-beda. Bahkan tak jarang meradang jika elektabilitas survei jagoannya menurun dan senang jika ada kenaikan elektabilitas para jagoannya meskipun hanya dirilis oleh hanya satu lembaga survei. Padahal, survei bukanlah penentu dalam hal menang-kalah ketika pemilu, yang terbaik justru merapatkan barisan, membangun konsolidasi politik, mempersiapkan energi prima dalam ajang kontestasi, bukan sekadar membuang-buangnya secara percuma.

Anehnya, muncul semacam "phobia politik" yang menggejala namun dalam "diksi" politik yang berbeda-beda. Ada gerakan #2019GantiPresiden lalu diganti dengan berbagai ungkapan lain yang sedikit menggelikan, muncul dalam ruang-ruang publik yang bukan "mewakili" kekuatan politik oposisi secara keseluruhan. 

Bukan suatu kebetulan pula, ketika Jokowi bergaya "bikers", lalu dibalas oleh pihak oposisi dengan gaya "bicyclist", seakan membuat semacam "narasi politis" tandingan yang tentu saja bisa diartikan macam-macam oleh publik. Ruang publik tampak riuh oleh "akrobat politik", sehingga banyak hal-hal penting yang kemudian terabaikan dan justru semakin membuat rumit partai-partai oposisi itu sendiri.

Saya justru khawatir, kerumitan yang diciptakan kekuatan oposisi, justru semakin memperlihatkan  ketidakmampuan mereka untuk menghadirkan capres alternatif. Alih-alih memperkuat soliditas untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai capres, kekuatan oposan semakin melemah yang pada akhirnya kemudian berjalan sendiri-sendiri dan pilpres mendatang hanya ada Jokowi melawan "kotak kosong". 

Ini jelas sangat disayangkan, karena harus ditumbuhkan dalam ruang-ruang politik, bahwa presiden tak harus Jokowi, harus ada capres lain yang mumpuni, sehingga proses demokratisasi semakin berjalan baik dan mantap. Menggaungnya meme #2019GantiPresiden harus dipandang sebagai hal positif dalam membangun suasana demokrasi yang semakin membaik.

Saya kira, setiap kekuatan oposisi harus sanggup melepaskan baju "egoisme" politiknya, membangun konsolidasi bersama-sama demi kepentingan jangka panjang yang lebih besar, bukan sekadar berebut "jatah" kekuasaan. Tidak ada yang sulit dalam konteks politik, jika sama-sama disadari bahwa politik tak harus melulu "kursi", "jabatan", atau gengsi kekuasaan, namun jauh dari itu, politik memiliki nilai "kebersamaan" untuk saling membangun, menata kehidupan yang lebih baik di masa-masa yang akan datang. 

Bahkan, politisi senior Amien Rais memprediksi, Prabowo dapat mengalahkan Jokowi di pilpres mendatang, karena melihat elektoral Prabowo di pilpres 2014 lalu berada pada level 46 persen, hanya tinggal menambah 8 persen saja, itu sudah cukup.

Saya meyakini bahwa soal politik-kekuasaan memang penuh banyak pertimbangan, walaupun yang tampak justru ketidakserasian yang diciptakan oleh masing-masing kekuatan oposan. Entah sampai kapan kekuatan politik oposisi ini menyatukan diri, membangun kekuatan politiknya secara serasi dalam satu irama memberikan dukungan secara nyata kepada siapapun yang nanti dijagokannya. 

Merayu parpol lain agar mau beralih dukungan kepada oposisi, justru semakin memperlambat konsolidasi yang akhirnya terkesan jalan sendiri-sendiri. Tapi itulah politik, semuanya ada ditangan kekuasaan kaum elit, rakyat biasa hanya sekadar "mencuit" dan menunggu kapan keserasian langkah kaum elitis mewujud dalam barisan kekuatan partai oposisi ini.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun