Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bahan Bakar Politik

13 April 2018   10:35 Diperbarui: 13 April 2018   21:41 2377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan populis memang bertujuan politis, lain halnya dengan kebijakan bisnis tampak manis walaupun bikin miris. Para ivestor yang sanggup menggelontorkan dananya bagi negeri ini diatas Rp 30 triliun akan mendapakan privilege dari pemerintah berupa intensif tax holiday atau diliburkan membayar pajak selama 20 tahun. 

Dibawah itu, yang sanggup mengucurkan dana 5-15 triliun, bisa libur pajaknya hingga 10 tahun. Bagi pengusaha berkantong tebal, ini bisa jadi "bahan bakar" untuk menggenjot laju bisnisnya dengan "gratis pajak" di Indonesia. Menarik bukan? Disaat para UMKM dan pengusaha lokal yang omsetnya tak seberapa, dikejar-kejar program tax amnesty, namun disisi lain ada kebijakan istimewa dari negara bagi mereka yang berbisnis skala besar.

Menariknya lagi, tunjangan kinerja dan THR PNS pada lebaran tahun ini juga bakal dinaikkan. Kebijakan ini tentu saja populis dan akan membuat para pegawai pemerintah tersenyum lebar jelang lebaran nanti. Kondisi ini sangat kontras dengan kenyataan para pekerja ojek online (ojol) yang mengeluh omsetnya turun drastis bahkan jauh dibawah UMR, padahal kinerja para diriver ojol ini yang saya tahu, bisa seharian keliling jalanan, mengantar setiap orang yang membutuhkan jasanya. Jam kerja mereka bisa jauh melebihi PNS, tetapi nasib mereka sebagai warga negara yang juga berjasa, terkatung-katung di jalanan tanpa ada kejelasan.

Jadi, pilih kebijakan populis atau kebijakan bisnis? Toh, keduanya bisa jadi "bahan bakar" politik yang tentu saja dalam banyak hal sangat menguntungkan penguasa, sedikit saja yang berdampak pada kesejahteraan rakyat. Walaupun kita sendiri tak memungkiri, bahwa inilah resiko demokrasi yang bahan bakarnya berasal dari suara rakyat. 

Rakyat yang mana, tentu kita sangat paham, karena demokrasi selalu bicara mayoritas dan disisi lain kadang menekan pihak-pihak minoritas. Jadi, aku harus bagaimana? Mungkin bait-bait pusi Gus Mus yang sempat menjadi kontroversi belakangan patut kita renungkan, karena didalamnya tak hanya kritik terhadap diri sendiri, tetapi juga mengkritik berbagai kenyataan yang ada di luar diri kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun