Ajaran budi pekerti yang diimplementasikan oleh Kiai Amin mulai menyatu dalam pribadi Mamnun, tanpa sadar, dirinya menyerap hampir seluruh kepribadian gurunya selama di pesantren. Tradisi keilmuan yang diajarkan melalui beragam kitab oleh para gurunya hanyalah sebatas bahasa verbal, cukup berdampak pada otak yang sekadar menambah wawasan. Bahasa verbal sulit menyentuh intisari jiwa apalagi membekas pada hati. Itulah kenapa, terngiang di telinganya salah satu bait terkenal dalam kitab Ta'limul Muta'allim, "lisaanul haal afshahu min lisaanil maqaal" atau "bahasa sikap itu lebih hebat pengaruhnya ketimbang bahasa lisan atau verbal". Itupun baru disadari beberapa waktu lamanya selepas dia menyelesaikan nyantrinya di pondok Kiai Amin.
Bagi Mamnun, tak perlu banyak bicara yang penting bekerja dan memberikan manfaat untuk orang banyak. Ternyata, nama Mamnun tak seperti maknanya, karena seluruh ajaran moral yang diserap selama nyantri tak pernah "terputus", senantiasa ditularkan dalam setiap kesempatan dirinya bekerja. Bahkan, jauh-jauh hari dia baru menyadari, dimana setiap amal baik itu pahalanya mengalir tak pernah terputus, sebagaimana dimaksud oleh kitab suci Al-Quran yang diyakininya bukan fiksi. "Innalladziina aamanu wa 'amilusshaalihaati falahum ajrun ghairu mamnuun" (sungguh mereka yang beriman dan beramal soleh, baginya pahala yang mengalir tanpa terputus). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H