Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sudirja Nyalon Lagi

7 April 2018   21:23 Diperbarui: 7 April 2018   21:44 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu entah kenapa Sudirja sulit memejamkan mata, padahal lelah badan sudah sangat terasa. Ingatannya selalu terbayang akan lawan-lawan politiknya yang sudah terang-terangan hendak mengganjal pencalonannya kembali menjadi kepala desa. Dari mulai selebaran yang membongkar kelemahan dan kesalahannya, bahkan ada juga yang mengorek persoalan pribadi dan keluarganya, belum lagi soal kotoran sapi yang tiba-tiba berserakan di halaman rumah. 

Yang paling menyedihkan, dirinya dituduh antek-antek komunis dan kabar itu sudah santer terdengar di kalangan warga Kampung Klangenan. "Kang, kubu sebelah bahkan sudah mulai bergerak, terus berupaya menghalangi sampeyan nyalon kuwu lagi", kata-kata Darto terus mengiang di telinga Sudirja.

Beberapa bulan terakhir menjelang pilihan kuwu di kampung itu, memang terasa tak seperti biasanya. Maklum, biasanya soal urusan politik terutama jelang pemilihan seperti ini, ada saja kondisi pro dan kontra. Sudirja, adalah kuwu incumbent yang masih mau mencalonkan kembali, mengingat desakan dari sebagian warga yang masih mengharapkan dirinya kembali memimpin. "Saya dukung sampeyan, Kang, sampai darah titik penghabisan!", celoteh Karman yang sudah 5 tahun mendampinginya sebagai sekretaris desa. Tak beda dengan Musa yang juga meyakinkan Sudirja

 "Saya sudah kerahkan anak-anak muda, membuat berita baik soal sampeyan yang diatur melalui pertemuan berkala antara aparatur desa dan warga. Sampeyan gak perlu resah dan khawatir". Musa merupakan calo tanah yang selalu nongkrong di kantor desa dan mendapatkan banyak fasilitas kemudahan, karena setiap ada penjualan tanah, dirinya selalu memberikan persenan kepada aparat yang ada disana.

"Tapi ini sudah fitnah. Masa saya dibilang komunis? Apalagi soal teror kotoran sapi yang dibuang depan halaman rumah saya. Itu apa urusannya? Ini harus dilaporkan aparat, bila perlu ditindak tegas. Tak gebuk kalau saya tahu siapa dalangnya!", ucap Sudirja dengan nada kesal di malam setelah teror itu terjadi. "Saya sudah lapor komandan Giman, katanya kalau soal urusan politik tidak gampang, hmmm..." Karman terdiam tak melanjutkan, berharap Sudirja memahami. "Saya paham, itu gampang diatur. Yang penting soal ini bisa selesai. Kalau saya dicitrakan buruk terus, nanti gimana warga mau milih saya?", jawab Sudirja memahami maksud Karman.

Entah kenapa, belakangan ini sampai soal pemilihan kepala desa, selalu saja ada upaya kampanye hitam, padahal, dulu yang menjadi kepala desa adalah tokoh sekitar yang memiliki kecakapan memimpin dan dipercaya oleh banyak warga. Ikatan keparcayaan atau "mutual trust" bahasa keren-nya, terbangun sedemikian baik, antara para tokoh dan warga. Kampung Klangenan selalu akur satu sama lainnya, karena terbentuknya saling percaya antarwarganya.

 Siapapun yang nyalon jadi kuwu, bukan akibat pengaruh buruk opini warga, tapi lebih berdasarkan nuansa kompetitif layaknya pertandingan persahabatan badminton antar kampung. Politik jaman now lebih banyak didorong pembentukan opini negatif untuk menggagalkan siapapun yang tak dikehendaki nyalon lagi.

Kalau tak ada desakan dari sebagian warga kampung, Sudirja rasanya ingin saja berhenti dan menjalani kehidupannya sebagai warga biasa seperti 5 tahun sebelumnya. Dirinya bisa setiap hari bercengkrama dengan keluarga, ngopi bareng warga di Warung Mbak Sartini sambil maen catur, atau ikut perlombaan badminton yang saban tahun digelar. 

"Kalau melihat situasi seperti ini, saya harus nyalon lagi. Saya gak rela kalau diisukan jelek terus. Gini-gini juga saya berhasil membangun infrastruktur kampung yang manfaatnya sudah dirasakan warga", Sudirja membuka obrolan dengan beberapa orang dekatnya sebelum dirinya tidur malam itu.

"Saya akan kerahkan seluruh potensi yang ada untuk menggolkan sampeyan jadi kuwu lagi, Kang", Karman selalu meyakinkan dan menjadi orang terdekat Sudirja yang selalu dimintai pendapatnya. Karman-lah sejauh ini yang selalu membangun image positif tentang Sudirja yang dalam beberapa kesempatan selalu disampaikan kepada warga. Bahkan, terkadang Karman dengan ide cerdasnya, melakukan serangkaian pembangunan citra positif lewat jalur bagi-bagi sembako atau menggelar bazar murah kepada warga. 

Karman juga yang mengatur agar Sudirja lebih giat mendekati para tokoh masyarakat, pemuka agama atau kiai, sehingga kesan dirinya yang diisukan komunis, lambat laun dapat terisolasi. Dalam beberapa kesempatan, Sudirja juga kadang menyentil soal isu komunis ini dan menyampaikan kisah jenakanya dalam kegiatan pertemuan dengan warga.

"Saya ini sudah muslim sejak lahir. Bapak saya, Ibu saya dan semua keluarga saya muslim. Wong agamanya jelas kok, dibilang komunis. Ya, saya memang komunis sekarang, alias kelompok bermuka manis", sontak seluruh warga yang hadir riuh karena pecah tertawanya. Istilah komunis ini kemudian populer ditengah warga untuk bahan candaan atau bagian tak terpisahkan sebagai penggalangan kekuatan politik bagi sekelompok warga pendukung Sudirja. 

Beginilah realitas kepolitikan di kampung yang dulu dikenal guyub dalam beragam sisi kehidupan warganya. Akibat pergeseran mekanisme kepemimpinan politik---dimana seorang kuwu juga politis---maka seluruh aturan dan rekruitmen calon kuwu tak jauh beda dengan pemilihan pemimpin politik lainnya seperti yang ada dalam wujud dunia politik masa kini.

Untuk nyalon jadi kuwu, Sudirja harus sudah menabung sejak 5 tahun lalu, karena sulit untuk saat ini jika mau nyalon tapi gak punya duit. Lagi-lagi, kadang Sudirja geram, karena harus merogoh koceknya lebih dalam disetiap kesempatan dirinya berkumpul dan bertemu dengan para pendukungnya. Ada saja biaya yang harus dikeluarkan, tidak hanya sekadar makan-makan atau minum saja, atau ongkos masing-masing bagi mereka yang datang. 

Belum lagi jika harus ada uang tambahan, untuk segala macam urusan penggalangan dukungan. Ada kelompok anak muda, pengajian, sampai ibu-ibu aktivis pos yandu, ada saja biayanya. Jelang pemilihan lebih banyak lagi, karena harus pesan kaos, umbul-umbul, atau poster poto calon yang disebar di setiap ujung jalan.

Bagi Sudirja, inilah ongkos demokrasi yang harus dipahami, walaupun dia sendiri gak paham apa itu sebenarnya demokrasi. Yang dia tahu, jika mau nyalon ya harus punya modal. Modalnya duit yang paling utama, bukan kecakapan atau kepintaran. Soal pintar dan cakap, itu polesan yang bisa didapatkan belakangan. 

Buktinya, Sudirja sukses menjadi kuwu karena punya modal kuat, termasuk sokongan dana yang mengalir dari Musa si calo tanah yang juga nyambi sebagai penerima orderan proyek bangunan. Kelihaian Musa dalam mengurus berbagai proyek, menjadikan dirinya banyak kenalan cukong-cukong yang kapan saja gampang dimintakan bantuannya. 

Berbagai rangkaian kejadian ini, tak habis-habisnya sering menjadi pengganggu pikiran disaat dirinya hendak tidur. Bahkan mimpi demokrasi selalu hadir disetiap tidurnya, berharap kampungnya damai seperti dulu, bukan karena demokrasi, tetapi karena antarsesamanya saling mempercayai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun