"Saya ini sudah muslim sejak lahir. Bapak saya, Ibu saya dan semua keluarga saya muslim. Wong agamanya jelas kok, dibilang komunis. Ya, saya memang komunis sekarang, alias kelompok bermuka manis", sontak seluruh warga yang hadir riuh karena pecah tertawanya. Istilah komunis ini kemudian populer ditengah warga untuk bahan candaan atau bagian tak terpisahkan sebagai penggalangan kekuatan politik bagi sekelompok warga pendukung Sudirja.Â
Beginilah realitas kepolitikan di kampung yang dulu dikenal guyub dalam beragam sisi kehidupan warganya. Akibat pergeseran mekanisme kepemimpinan politik---dimana seorang kuwu juga politis---maka seluruh aturan dan rekruitmen calon kuwu tak jauh beda dengan pemilihan pemimpin politik lainnya seperti yang ada dalam wujud dunia politik masa kini.
Untuk nyalon jadi kuwu, Sudirja harus sudah menabung sejak 5 tahun lalu, karena sulit untuk saat ini jika mau nyalon tapi gak punya duit. Lagi-lagi, kadang Sudirja geram, karena harus merogoh koceknya lebih dalam disetiap kesempatan dirinya berkumpul dan bertemu dengan para pendukungnya. Ada saja biaya yang harus dikeluarkan, tidak hanya sekadar makan-makan atau minum saja, atau ongkos masing-masing bagi mereka yang datang.Â
Belum lagi jika harus ada uang tambahan, untuk segala macam urusan penggalangan dukungan. Ada kelompok anak muda, pengajian, sampai ibu-ibu aktivis pos yandu, ada saja biayanya. Jelang pemilihan lebih banyak lagi, karena harus pesan kaos, umbul-umbul, atau poster poto calon yang disebar di setiap ujung jalan.
Bagi Sudirja, inilah ongkos demokrasi yang harus dipahami, walaupun dia sendiri gak paham apa itu sebenarnya demokrasi. Yang dia tahu, jika mau nyalon ya harus punya modal. Modalnya duit yang paling utama, bukan kecakapan atau kepintaran. Soal pintar dan cakap, itu polesan yang bisa didapatkan belakangan.Â
Buktinya, Sudirja sukses menjadi kuwu karena punya modal kuat, termasuk sokongan dana yang mengalir dari Musa si calo tanah yang juga nyambi sebagai penerima orderan proyek bangunan. Kelihaian Musa dalam mengurus berbagai proyek, menjadikan dirinya banyak kenalan cukong-cukong yang kapan saja gampang dimintakan bantuannya.Â
Berbagai rangkaian kejadian ini, tak habis-habisnya sering menjadi pengganggu pikiran disaat dirinya hendak tidur. Bahkan mimpi demokrasi selalu hadir disetiap tidurnya, berharap kampungnya damai seperti dulu, bukan karena demokrasi, tetapi karena antarsesamanya saling mempercayai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H